10 - Entah Apa yang Merasukinya

457 91 11
                                    

Ada hal-hal yang terkadang membuat seseorang menemukan dirinya seperti orang lain, terasa asing.

---

"Gimana hari pertamamu, Lan?"

Mendengar pertanyaan itu, langkah Nolan berhenti di dasar tangga. Kaki kanannya yang sudah menapak di anak tangga pertama, ia turunkan kembali. Ia menoleh, mendapati Papa beserta istrinya sedang bersantai di ruang tengah. Televisi berukuran 90 inci menampilkan tayangan berita kriminal.

Di usia 47 tahun, Yasa masih terlihat gagah. Ia rutin berolahraga untuk menjaga kebugaran fisiknya. Wajahnya bahkan terlihat lebih muda dari usianya. Tidak heran, kegantengan Nolan tercetak dari sana. Perempuan yang duduk di sampingnya bernama Marni, perempuan yang dipilihnya sebagai pendamping hidup sejak tujuh tahun yang lalu. Daripada mama, Nolan lebih memilih menganggap Marni sebatas istri papanya.

Yasa termasuk beruntung, meraih kesuksesan sejak usianya masih berkepala tiga. Selain pendidikan, ia juga merambah dunia perhotelan. Cabangnya bahkan sudah opening di beberapa negara tetangga. Dengan jaringan bisnis seluas itu, seseorang biasanya sibuk di mana-mana, nyaris tidak ada waktu untuk keluarga. Untungnya Yasa tidak seperti itu. Sejak awal ia punya formula khusus. Bagaimana supaya bisnis bisa membuat pelakunya merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya, bukan malah jadi budak waktu. Untuk hal itu Yasa dituntut untuk menanam kepercayaan lebih terhadap rekan-rekannya. Terkadang memang agak berisiko, tapi sejauh ini lelaki pecandu kopi itu selalu bisa mengatasinya.

Semua pencapaian Yasa saat ini tak lepas dari campur tangan almarhum ayahnya, yang sudah mengenalkannya dengan dunia bisnis sejak masih SMA. Sebenarnya Yasa ingin melakukan hal yang sama terhadap Nolan, tapi kondisinya sedang tidak memungkinkan. Untuk saat ini biarkan saja anak itu menjalani apa yang benar-benar ia suka. Jika bisa kembali memenangkan hatinya, bagi Yasa itu sudah lebih dari cukup.

"Biasa aja," jawab Nolan tanpa melepas pegangannya di railing tangga.

"Kok gitu?" Yasa mengecilkan volume televisi.

"Mau gimana lagi? Dari dulu sekolah yang Papa bangga-banggakan itu emang gitu-gitu aja, kan? Monoton! Membosankan!"

Yasa tidak kaget. Ia sudah terbiasa dengan sikap Nolan seperti ini. Terkadang memang melelahkan, tapi ini bagian dari tanggung jawabnya selaku orangtua.

"Sayang, kamu makan dulu, ya. Biar Mama siapkan." Marni mencoba menepis kecanggungan yang tiba-tiba menyelinap.

"Nggak usah." Nada suara Nolan pelan, tapi menohok. Kemudian ia naik ke lantai dua menuju kamarnya, melangkahi anak tangga dua-dua sekaligus.

Yasa mengelus punggung istrinya. Marni menoleh dan menyuguhkan senyum 'nggak papa'.

Setibanya di kamar, Nolan melempar asal ranselnya, kemudian membanting diri di tempat tidur. Hampir semua barang-barang di kamar itu berwarna hitam. Hanya sofa tunggal di depan televisi dan gorden yang berwarna abu-abu tua, serta beberapa benda kecil seperti tempat sampah dan jam dinding yang berwarna putih. Lantainya dipasangi ubin hitam mengilap. Hampir seluruh permukaan dindingnya ditutupi wallpaper 3D bertekstur kasar, lagi-lagi warna hitam. Sepintas tampilannya mirip permukaan tebing bebatuan. Jika ditanya tempat ternyaman, maka jawaban Nolan adalah kamar ini.

Capek tengkurap, Nolan beralih telentang. Perasaannya selalu tidak nyaman setiap kali habis bersikap seperti tadi terhadap papanya. Tapi ... ia selalu gagal mengontrol emosi. Nolan beralih menatap foto berbingkai yang terletak di atas nakas. Di foto itu Mama terlihat sangat anggun dalam balutan blus putih dengan lengan bermodel lonceng. Rambutnya disisir rapi dan dibiarkan terurai. Nolan yang kala itu masih kelas lima SD, memeluknya dari belakang. Di usia segitu ia sudah hampir setinggi Mama. Foto itu diambil sesaat sebelum mereka berangkat, beberapa jam sebelum peristiwa yang serupa mimpi buruk di hidup Nolan terjadi.

Mr. BlackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang