Diakui atau tidak, sebenarnya manusia selalu paham kata hatinya.
---
Nolan sedang mengedit video yang kemarin dia take bersama Kania. Namun, tidak selesai-selesai karena setiap detik video itu malah mengingatkannya pada insiden itu. Terserah kalau Kania menganggapnya hanya kecelakaan. Baginya, itu tetap ciuman.
Cowok berkaus hitam oversize itu memutar lagi videonya untuk kali kesekian. Lalu, dia kembali menatap kosong ke monitor sambil meraba bibirnya dan senyum-senyum sendiri.
Kania lagi apa, ya?
Dia kepikiran juga nggak, sih?
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Nolan. Punggungnya lekas menegak setelah tahu siapa yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya saat ini. Dia bisa menebak dari irama ketukannya. Sebenarnya dia malas menanggapi, tapi ketukan itu akan terus terdengar sebelum dia membuka pintu. Akhirnya dia bangkit dengan ogah-ogahan, meninggalkan laptopnya dengan materi promo yang belum tersentuh editan sama sekali.
Sesuai dugaan, tampang khas Papa muncul setelah Nolan membuka pintu. Yang dimaksud Nolan khas adalah setengah mengerti, setengah menekan, setengah menindas, setengah prihatin. Pokoknya, setelah Mama tidak ada, Papa jadi setengah-setengah.
"Nanti malam kita makan di luar, ya." Yasa langsung ke inti tanpa intro apa-apa.
"Kalian aja, Nolan ada acara."
Nada suara Nolan biasa saja, tatapannya juga. Kendati demikian, Yasa selalu bisa merasakan aura perlawanan setiap kali berhadapan dengan anaknya ini. Entah harus melakukan apa lagi untuk mengambil hatinya kembali.
"Acara apa?" Yasa mengernyit samar.
Mode mengarang bebas di otak Nolan berputar cepat. "Mau ngerjain tugas kelompok di rumah Tama." Alasan yang terlalu klise.
Yasa memicing, karena biasanya teman-teman Nolan yang ke sini kalau ada tugas sekolah. "Tugasnya lebih penting daripada makan malam keluarga kita, ya?"
"Sebagai ketua yayasan, harusnya Papa cukup tahu seketat apa aturan di Galaxy. Nggak boleh telat ngumpulin tugas." Ekspresi Nolan masih terkontrol, meski ujung-ujung katanya mulai meruncing.
"Tapi, kan—"
"Lagian itu keluarga Papa, bukan kelurga Nolan."
"NOLAN!" Darah Yasa seketika mendidih. Wajahnya bersemu merah.
Nolan malah maju selangkah dengan tatapan menantang. "Lakukan yang Papa mau, sesukanya." Dia seolah menyerahkan seutuh tubuhnya untuk dihantam di bagian mana pun.
Kedua tangan Yasa terkepal kuat. Urat-uratnya mencuat. Dia meninju daun pintu kemudian pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Nolan membanting pintu sekuat-kuatnya, kemudian melempar diri ke tempat tidur. Dia mendarat dengan posisi tengkurap. Napasnya memburu menahan lahar yang menyembur di dadanya, punggungnya naik turun dengan cepat. Setelah agak tenang, dia menoleh ke atas nakas. Di sana ada senyum Mama yang selalu bisa menenangkan.
Maafin Nolan, Ma ....
Entah kapan siklus seperti ini berakhir. Nolan merasa jadi anak paling durhaka setiap kali bersikap kasar pada Papa, tapi dia selalu gagal mengontrol diri. Jauh di dasar hatinya, Nolan sadar, dia bukan anak kecil lagi. Sekeras apa pun dia menolak, keadaan tidak akan pernah sama lagi.
Nolan mengangkat kepala saat ponsel yang dia letakkan di samping laptop berdering. Itu nada dering yang sengaja di-setting hanya untuk satu nomor. Nomor Kania. Karena itu Nolan langsung loncat dan menyambar ponselnya. Dia lekas menjawab sebelum waktu tunggunya habis.
"Halo." Suaranya diusahakan biasa saja, padahal senyumnya merekah malu-malu. Kekesalan karena kemunculan Papa tadi sudah hilang tak berbekas.
"Mama ngundang lo makan malam di sini. Wajib datang!"
"Oke. Sampai jumpa nanti malam." Ternyata Tuhan segitu baiknya. Sekarang Nolan bukan sekadar alasan ke Papa, dia benar-benar punya acara. Cowok itu langsung celebration, loncat-loncat sambil ber-yes-yes tanpa suara. Sialnya, karena banyak gaya, jempolnya tidak sengaja menyentuh bundaran merah di layar ponselnya. Otomatis telepon Kania pun terputus.
"Yah ...," keluhnya. Padahal dia bermaksud menggoda cewek itu. Sebagai gantinya, dia harus ke sana sekarang juga. Tidak masalah datang sore, meskipun undangannya makan malam. Dia bisa bantu-bantu dulu di Aroma Rasa. Hari ini pasti masih ada pejuang #CupcakeTimeWithOlan yang datang.
Nolan mengambil handuk di lemari dan bergegas ke kamar mandi. Dia harus ganteng maksimal di depan Kania kali ini.
🍁🍁🍁
Assalamualaikum.
Mohon maaf sebelumnya, bab ini hanya berupa cuplikan. Kalau kamu penasaran dengan kelanjutan kisah Nolan dan misteri di balik kacamata hitamnya, silakan baca selengkapnya di:
* KBM App
* KaryaKarsaDi semua platform nama akunku sama (Ansar Siri). Ketik aja di kolom pencarian. Kalau akunku udah ketemu, silakan pilih cerita yang ingin kamu baca.
Cara gampangnya, langsung aja klik link yang aku sematkan di halaman depan Wattpad-ku ini.
Aku tunggu di sana, ya.
Makasih.
Salam santun 😊🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Black
Teen FictionMeskipun gantengnya selangit, Kania tetap tidak menyukai Nolan. Baginya, cowok itu aneh karena selalu pakai kacamata hitam. Karena itu dia menjulukinya Mr. Black. Namun, sebuah insiden kecil malah mengharuskan Kania jadi asisten pribadi cowok itu. P...