7 - Kacamata Sialan!

511 93 8
                                    

Standar kenyamanan di masing-masing hati berbeda, dan terkadang tidak kenal kompromi.

---

Kania memandangi punggung Mr. Black yang semakin menjauh. Setelah memenangkan perdebatan, harusnya ia senang, loncat-loncat atau terbang sekalian. Tapi kenapa jalannya malah menunduk begitu? Selain tiba-tiba menyebalkan, Kania bisa merasakan perubahan Mr. Black hari ini. Tapi bodo amat. Mulai sekarang cowok itu masuk ke daftar 'nggak perlu dikasih hati' di hidup Kania.

Huft ....

Kania masih duduk di bangku besi itu. Ia menghela napas panjang kemudian membiarkan pundaknya merosot sedalam-dalamnya. Setelah dua tahun aman-aman saja, seolah berotasi di orbit yang berbeda, kenapa Kania tiba-tiba harus berurusan dengan cowok itu, sih? Tiba-tiba Kania teringat ramalan itu lagi. Ia bergidik ngeri. Tidak mungkin ia berjodoh dengan Mr. Black di masa depan. Entah apa jadinya. Membayangkannya saja Kania tidak sanggup.

Sebelum isi kepalanya semakin rumit, Kania memutuskan kembali ke kelas. Jangan sampai semprotan dari Bu Yusi melengkapi awal harinya yang kacau ini.

Setelah menyuguhkan senyum dan anggukan 'maaf, Bu' ke arah Bu Yusi, Kania melanjutkan langkah tidak bersemangatnya ke tempat duduknya. Sesuai dugaan, belum juga duduk sempurna, Melda sudah menepuk pundaknya berkali-kali. Tentu saja cewek penggemar drama Thailand itu penasaran dengan isi pembicaraan Kania dengan Nolan. Karena setahunya, selama ini Kania tidak pernah peduli dengan sosok Nolan, bahkan tidak join di Olife. Jadi menemukan pemandangan tiba-tiba mereka terlibat percakapan intens, ibarat salju tiba-tiba turun di Jakarta.

Kania mengabaikan kode dari Melda. Ia tidak mungkin cerita di tengah jam pelajaran, kan? Kalaupun harus, entah harus mulai dari mana. Tabrakan? Pingsan? Atau kacamata? Hal ini terasa semakin rumit saja di benak Kania.

Melda belum menyerah, kembali menepuk pundak Kania, malah sambil mendesis kali ini. Kania tetap tidak menoleh. Kalau sahabatnya itu sampai harus mati penasaran, biarkan saja kali ini.

***

"Omaigat ... omaigat ... omaigat ...!" Tangan Melda gemetar menerima kacamata yang disodorkan Kania.

Di jam istirahat, akhirnya Kania menyerah. Selain capek dikejar, ia memang butuh Melda untuk menyelesaikan kasus yang tiba-tiba digantung di pundaknya ini. Ia menceritakan insiden tabrakan yang berujung tuntutan ganti rugi itu. Tapi perkara pingsan hingga harus melibatkan Pak Eko, sengaja Kania skip. Tanpa menceritakan bagian itu saja Melda sudah heboh.

Urusan kacamata Kania serahkan ke Melda. Selain perlengkapan melukis, ia jarang belanja. Jadi wajar kalau buta merek. Baju-bajunya saja kebanyakan dibelikan Mama. Tapi kalau Melda, otaknya seolah sudah di-setting untuk upgrade otomatis di dunia fashion. Sampai merek-merek pakaian artis Hollywood ia hafal.

"Lo serius ini kacamata Nolan?"

Kania hanya mengangguk lesu.

"Yang selama ini melengkapi kegantengannya?"

Kali ini respons Kania hanya berupa gerakan kecil di alis kirinya.

Melda tampak megap-megap. Matanya berbinar takjub. Ia memang sedrama itu. Lihat saja, tangannya masih gemetar, seolah sedang memegang artefak kuno bernilai tinggi yang sudah lama diburu para arkeolog.

"Benar-benar berkah kita berkesempatan megang ini, Kan." Melda membolak-balik kacamata itu, menatapnya larut-larut.

"Kacamata itu musibah, Mel." Kania mendengus. Entah bagaimana otak Melda bekerja saat ini.

Mr. BlackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang