41 - Terapi

13 0 0
                                    

Nahas, ketika kita serta-merta menilai seseorang tanpa berusaha mengenalnya terlebih dahulu.

---

"Tante kangen banget sama kamu."

Tante Hesti tidak asal ngomong, Nolan bisa merasakan itu dari sorot matanya.

"Baru juga dua minggu nggak ketemu."

"Dua minggu itu 14 hari, loh, 336 jam."

Nolan hanya geleng-geleng sambil tersenyum geli melihat ekspresi berlebihan tantenya.

"Oh ya, Nolan bawa teman," ujar Nolan sambil melihat ke arah Kania. "Kan!" panggilnya.

Kania tampak terkesiap, lalu lekas berdiri.

Semburat takjub membuat mata Tante Hesti berbinar. Dan senyuman jail itu, Nolan sungguh sangat paham maksudnya. Namun, Nolan memilih pura-pura tidak terpengaruh.

"Kan, kenalin, ini Tante Hesti, adiknya Papa." Tatapan Nolan bergeser ke Tante Hesti yang masih saja dengan mimik menggoda. Kali ini bahkan dengan kedipan penuh makna. "Tan, ini Kania, teman sekolah Nolan."

Kania lekas mencium tangan Tante Hesti.

"Oh teman ...."

Nolan berdecak samar. Tante Hesti benar-benar, suaranya sengaja dipanjang-panjangkan.

"Lan, kamu duluan aja ke ruang terapi, di sana ada Danu, kok. Tante mau ngomong bentar sama Kania."

Nolan mengangguk, kemudian berlalu ke dalam. Sementara itu, Tante Hesti mengajak Kania ke ruangannya. Kania jadi kikuk, tidak menyangka akan mendapat sambutan seperti ini.

Ruangan Tante Hesti lumayan luas dan minim perabotan, jadi terlihat lega dan nyaman. Yang paling mencolok adalah akuarium besar berisi ikan-ikan kecil beraneka warna. Kania menyukainya. Tatapannya bertahan cukup lama di sana.

"Duduk, Kan," suruh Tante Hesti sambil membuka kulkas setengah badan di sudut ruangan. Dia mengambil larutan penyegar rasa jambu untuk Kania.

Kania mengangguk sopan, kemudian duduk di sofa panjang yang berhadapan dengan televisi. Beberapa detik kemudian Tante Hesti bergabung di sampingnya.

"Maaf, ya, Tante cuma punya minum," ujar Tante Hesti sambil meletakkan minuman kemasan kaleng warna hijau itu di depan Kania.

"Pakai repot-repot segala, Tan." Kania masih bingung bagaimana harus bersikap. Jika ini bagian dari standar pelayanan yang diterapkan di tempat ini, Kania berani bertaruh, ini klinik psikiater terbaik di Jakarta. Namun, sepertinya tidak mungkin. Dia bahkan bukan pasien.

"Anggap aja minuman itu ucapan terima kasih Tante karena kamu udah mau temenan sama ponakan Tante. Karena Tante tahu banget gimana kelakuan dia di luar sana."

"Mr ... eh, Nolan maksud Tante?" Kania menggigit bibir. Hampir saja kelepasan.

🍁🍁🍁

Assalamualaikum.

Mohon maaf sebelumnya, bab ini hanya berupa cuplikan. Kalau kamu penasaran dengan kelanjutan kisah Nolan dan misteri di balik kacamata hitamnya, silakan baca selengkapnya di:

* KBM App
* KaryaKarsa

Di semua platform nama akunku sama (Ansar Siri). Ketik aja di kolom pencarian. Kalau akunku udah ketemu, silakan pilih cerita yang ingin kamu baca.

Cara gampangnya, langsung aja klik link yang aku sematkan di halaman depan Wattpad-ku ini.

Aku tunggu di sana, ya.

Makasih.

Salam santun 😊🙏

Mr. BlackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang