Gelombang takdir memang tidak menentu. Kita yang berada di dalamnya harus selalu siap.
---
Sepasang mata itu, meski sedang tertutup rapat, entah kenapa Kania betah memandangnya lama-lama. Meski enggan, kali ini Kania harus menepikan ego, mengakui salah satu faktor kuat Mr. Black diidolakan banyak orang. Karena cowok ini memang berkarisma. Kania jongkok untuk memastikan keadaannya.
"Oi, bangun." Kania mencolek lengannya. "Lo pura-pura, kan?" Kali ini Kania memberanikan diri menepuk pipinya. Mr. Black tetap tidak bergerak.
Beneran mati, ya? Kania mulai cemas. Ia melintangkan jari telunjuk di depan hidung Mr. Black, yang lebih mancung dari hidungnya. Astaga, sempat-sempatnya Kania iri dengan hidung itu. Kania lega saat embusan napas pelan dan hangat menyentuh telunjuknya. Untunglah, Mr. Black cuma pingsan.
Kania memindai keadaan sekitar, tidak ada siapa-siapa yang bisa dimintai tolong. Kania tahu, Mr. Black harus segera dibawa ke UKS, tapi ia tidak mungkin menggendong tubuh sejangkung itu. Diseret pun tidak akan berhasil. Akhirnya Kania memutuskan untuk melaporkan masalah ini ke Pak Eko.
Tak!
Baru selangkah, Kania merasakan kakinya menginjak sesuatu dan menimbulkan bunyi yang mengindikasikan kerusakan. Pemilik bibir tipis itu memindahkan pijakannya, lalu memastikan benda apa itu. Kania meringis mendapati benda pusaka Mr. Black yang tak lagi semulus sebelumnya. Pemiliknya pasti akan murka, pikir Kania sambil memungut kacamata itu dan mengantonginya. Urusan kacamata belakangan. Memindahkan Mr. Black dari koridor ini jauh lebih penting.
Setibanya di pos satpam, tanpa penjelasan apa-apa, Kania langsung menarik tangan Pak Eko yang tadinya sedang mengaduk kopi.
"Ada maling?" tentu saja Pak Eko keheranan, tapi ia tidak keberatan diajak lari. Meski setelah shalat Subuh tadi ia sudah menghabiskan 30 menit untuk jogging keliling kompleks.
"Ini lebih gawat dari maling, Pak. Mr. Black pingsan."
"Mr. Black? Siapa?" Pak Eko mengernyit. Ia tetap berusaha mengimbangi ayunan kaki Kania. Anak itu belum melepas tangannya.
"Nanti juga Bapak tahu," papar Kania susah payah. Ia mulai ngos-ngosan. Padahal di ramalan bintangnya hari ini tidak ada acara lari.
***
"Untung ada Bapak." Kania bernapas lega. "Tadi saya bingung banget harus ngapain." Kania dan Pak Eko beriringan keluar dari UKS. Mr. Black sudah ditangani seorang perawat di dalam sana.
"Gimana ceritanya dia tiba-tiba pingsan?"
Kania hanya mengendikkan bahu. Ia tidak harus menceritakan kejadian sebenarnya, kan?
"Ya sudah, Bapak kembali ke pos, ya."
"Baik, Pak. Saya juga harus kembali ke kelas. Sekali lagi makasih, Pak." Kania tidak melupakan kain taplak yang didekapnya. Tentu saja ia harus mengembalikannya sebelum ke kelas.
Pak Eko menyunggingkan sebaris senyum kemudian mengambil arah berlawanan.
Kania berlari-lari kecil menuju ruang penyimpanan. Sebenarnya ada kecamuk dalam kepalanya. Kenapa Mr. Black tiba-tiba pingsan? Ia tidak mungkin mengalami gangguan pernapasan hanya karena tubuhnya ditindih cewek mungil beberapa saat, kan? Bagaimana reaksi cowok itu saat siuman nanti? Akan mencari tahu cewek yang tabrakan dengannya atau memilih melupakannya saja? Oh ya, jangan lupakan soal kacamatanya yang retak di bawah kaki Kania. Meski Kania sudah menitipkan benda itu ke perawat tadi, firasatnya berkata, hidupnya tidak akan baik-baik saja setelah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Black
Novela JuvenilMeskipun gantengnya selangit, Kania tetap tidak menyukai Nolan. Baginya, cowok itu aneh karena selalu pakai kacamata hitam. Karena itu dia menjulukinya Mr. Black. Namun, sebuah insiden kecil malah mengharuskan Kania jadi asisten pribadi cowok itu. P...