Masing-masing orang punya kelemahan. Ingin diratapi atau diubah jadi kekuatan, kamu yang menentukan.
---
Nolan membuka mata perlahan-lahan, kepalanya agak berdentang. Mendapati ruangan serba putih, ia langsung tahu sedang berada di mana. Hanya saja, ia tidak mengerti kenapa harus berada di ruangan beraroma obat-obatan itu sepagi ini. Seharusnya ia di lapangan mengikuti pelajaran olahraga, bukan malah terbaring di sini. Pemandangan yang ditangkap mata Nolan selanjutnya adalah wajah kedua sahabatnya, Arlan dan Tama.
"Lo nggak jadi mati, kan?" tanya Arlan dengan nada khawatir yang dibuat-buat.
Merasa lelucon itu kurang pas, Tama menyentil telinga Arlan. Si pemilik telinga hanya mengaduh tanpa suara.
Nolan tidak berselera menanggapi omongan Arlan. Tapi tiba-tiba ia bangun dalam gerakan cepat ketika menyadari sesuatu, ia tidak mengenakan kacamata. Cowok beralis tebal itu gelagapan mencarinya. Meraba di sekitar bantal, merogoh saku seragamnya, menoleh ke atas nakas, tapi tidak ada.
"Nih." Tama menyodorkan benda yang dicari.
Tapi kelegaan Nolan beralih jadi geram saat akan mengenakan kacamata itu dan mendapati sebelah lensanya retak. "Sial!" umpatnya sambil mengembuskan napas kesal.
"Emang nggak bisa banget ya sehari aja lo nggak pakai kacamata?" tanya Tama ragu-ragu. Sebagai sahabat, ini bukan kali pertama ia mengajukan pertanyaan itu, tapi Nolan tidak pernah memberikan jawaban yang sesungguhnya.
"Gue kenapa di sini?" Nolan malah balik bertanya, sempurna mengabaikan pertanyaan Tama.
"Lo pingsan."
Mata Nolan seketika membola. Ia lantas teringat insiden kecil sebelum pingsan. Cowok terpopuler di Galaxy pingsan setelah tabrakan dengan cewek? Ini sungguh memalukan! Bagaimana jika cewek itu menyebarkan gosip yang tidak-tidak? Bagaimana jika netizen salah mengambil kesimpulan dan menganggapnya cowok lemah? Nolan menggeleng cepat, berusaha menepis kemungkinan-kemungkinan buruk yang bercokol di benaknya. Ia harus menemukan cewek itu, memastikannya tidak akan menceritakan insiden itu ke siapa pun.
"Siapa yang bawa gue ke sini?" tanya Nolan buru-buru.
"Pak Eko." Yang dimaksud Tama adalah satpam sekolah.
"Ada lagi?" Rasanya memang tidak mungkin cewek itu yang menggendongnya ke sini, tapi Nolan berharap minimal kedua sahabatnya ini sempat ketemu atau paling tidak melihat sepintas seseorang yang membersamai Pak Eko.
Tama menggeleng.
"Masa nggak ada cewek yang bawa kain warna ...." Nolan tercekat. Ia menelan ludah yang terasa mengandung duri. Tiba-tiba saja bulu kuduknya meremang hanya karena teringat kain itu.
"Cewek? Bawa kain? Siapa, sih, maksud lo?" Kali ini Arlan yang menanggapi, dengan tampang sempurna memetakan kebingungan.
Jadi dia ninggalin gue gitu aja? Sialan!
"Jangan-jangan ... lo pingsan karena ketemu penunggu sekolah ini ya?" imbuh Tama sambil bergidik ngeri.
"Ih ...." Arlan ikut-ikutan bergidik sambil merengkuh pundaknya.
Nolan memutar bola mata malas. "Ngaco lo pada!"
Arlan dan Tama malah lanjut mengungkit mitos-mitos di sekolah itu. Nolan tidak menggubrisnya. Ia terpaku menatap kacamata di tangannya, yang tidak bisa lagi dipakai gara-gara cewek itu.
"Lo masih mau di sini atau gabung ke lapangan?" Tama berucap sambil menepuk pelan pundak Nolan.
Nolan melirik jam tangannya. Pelajaran olahraga masih lama, tapi ia tidak mungkin ke lapangan dalam kondisi cuaca secerah ini tanpa kacamata. "Kalian duluan aja. Tolong bilangin ke Pak Wira, gue masih butuh istirahat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Black
Novela JuvenilMeskipun gantengnya selangit, Kania tetap tidak menyukai Nolan. Baginya, cowok itu aneh karena selalu pakai kacamata hitam. Karena itu dia menjulukinya Mr. Black. Namun, sebuah insiden kecil malah mengharuskan Kania jadi asisten pribadi cowok itu. P...