Hati tidak akan mempan dengan penyangkalan apa pun.
---
Kania mengernyit saat mendapati notifikasi panggilan tidak terjawab dari Liam di ponselnya. Kapan cowok itu menelepon? Tumben banget Kania tidak menyadari ponselnya berdering. Kania memutuskan untuk menelepon balik. Namun sebelum itu terjadi, sesuatu mengejutkannya. Di depan sana, Liam tampak tengah bersitegang dengan seseorang.
Kania mempercepat langkahnya sebelum hal yang tidak diinginkan benar-benar terjadi. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti sempurna saat sebuah kalimat meluncur di tengah riuh rendah ragam obrolan pengunjung yang berlalu-lalang. Sebuah kalimat yang seketika mengoyak perasaan merah muda yang sedang belajar tumbuh di hatinya. Sebuah kalimat yang mampu menjatuhkan cewek mana pun. Sebuah kalimat yang terdengar seperti kutukan, yang tidak pernah dirindukan oleh sepasang telinganya. Meski ditingkahi suara-suara lain, Kania yakin, suara yang mengirimkan kalimat itu milik Nolan.
Kania benci kedua matanya yang tiba-tiba basah. Padahal dia tengah berusaha menganggap kalimat itu bukan apa-apa, bukan sesuatu yang bisa melukai. Bukankah selama ini posisinya memang sebagai babu Nolan? Ada pun bias posisi lain yang dirasakannya sewaktu-waktu, sepertinya itu murni sebatas perasaannya saja. Dan Kania pastikan perasaan semacam itu tidak akan ada lagi mulai detik ini.
Kania lekas berbalik dan menjauh secepat yang dia bisa ketika tiba-tiba tatapan kedua cowok itu mengarah padanya. Liam terus memanggil, tapi Kania tidak peduli sama sekali.
Liam terus mengekori Kania, sengaja tidak menyejajari atau bahkan mencegat cewek itu. Dia tidak ingin memancing kekacauan kecil di tengah keramaian seperti ini. Dia takut orang-orang salah paham.
Setibanya di luar gedung, barulah Liam menangkap pergelangan tangan Kania. Cewek itu langsung meronta.
"Lepasin!"
"Gue mohon banget, Kan, lo harus tenang."
Kania masih berusaha untuk melepaskan diri. Akhirnya Liam menyerah. Dia tidak ingin cengkeramannya yang terlalu kuat malah melukai cewek ini. Dengan gerakan cepat Kania merapikan rambutnya yang menjuntai sembarangan, sebelum kedua tangan itu terlipat di depan dada. Napasnya memburu. Tatapannya yang tidak fokus sangat jelas mengandung amarah.
"Apa pun yang lo dengar tadi, Nolan nggak sungguh-sungguh mengucapkannya. Dia cuma lagi emosi."
"Gue nggak masalah, kok. Emang benar, beberapa minggu ini gue babunya. Dia nggak salah ngomong sama sekali." Sepanjang kalimat itu Kania tidak pernah menatap mata Liam. Dia tahu, mata seseorang tidak pernah bisa berbohong. Kendati demikian, Liam sangat paham perasaan cewek ini. Dia menggeram pelan. Rasanya ingin kembali dan memarut mulut Nolan.
"Tapi bukan berarti dia boleh ngomong kayak gitu." Suara Liam melemah.
Kania mengangkat pandangannya, berusaha membalas tatapan Liam dengan ekspresi semeyakinkan mungkin. "Harus banget, ya, diulang, gue nggak apa-apa, kok."
Liam memegang kedua pundak Kania, seolah ingin menenangkan meski cewek ini mengaku baik-baik saja. "Ya udah, gue antar lo pulang, ya." Liam tersenyum lembut. Dan itu benar-benar ampuh mengikis sesak di dada Kania. Cewek itu pun mengangguk.
Di perjalanan pulang, Kania kebanyakan melihat ke luar. Keriuhan jalanan ibu kota tidak ada apa-apanya dibanding isi kepalanya saat ini. Sejak kapan sebenarnya dia mulai tersedot ke pusaran pesona cowok itu? Apa yang membuatnya jatuh cinta diam-diam? Ironisnya, sebelum sempat Kania menyematkan sebuah nama, debaran menyenangkan itu diporak-porandakan oleh satu kalimat. Kania menghela napas berat untuk kesekian kali. Kenapa rasanya harus sesakit ini?
"Tadi harusnya lo nggak usah ngejar gue. Lo belum selesai ngomong sama Nolan, kan?" Kania akhirnya bersuara, setelah hening berhasil menyulam kekakuan.
"Gue udah selesai, kok." Liam tersenyum saat Kania menoleh ke arahnya. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk saat ini. Meski berusaha terlihat baik-baik saja, dia bisa membanyangkan sehancur apa hati cewek ini. "Percuma ngomong sama orang yang nggak bisa ngontrol emosinya."
Kania kembali menatap ke luar.
"Atas nama Nolan, gue minta maaf, ya." Liam sama sekali tidak bisa menganggap biasa ucapan Nolan tadi.
"Nggak ada yang salah, kok. Lo nggak harus minta maaf segala."
"Gue harap kalian tetap dekat setelah masalah ini selesai."
Kania tidak menanggapi. Liam pun memilih tidak melanjutkan. Dia paham, saat ini Kania butuh ruang khusus untuk mencerna isi kepalanya sendiri.
🍁🍁🍁
Assalamualaikum.
Mohon maaf sebelumnya, bab ini hanya berupa cuplikan. Kalau kamu penasaran dengan kelanjutan kisah Nolan dan misteri di balik kacamata hitamnya, silakan baca selengkapnya di:
* KBM App
* KaryaKarsaDi semua platform nama akunku sama (Ansar Siri). Ketik aja di kolom pencarian. Kalau akunku udah ketemu, silakan pilih cerita yang ingin kamu baca.
Cara gampangnya, langsung aja klik link yang aku sematkan di halaman depan Wattpad-ku ini.
Aku tunggu di sana, ya.
Makasih.
Salam santun 😊🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Black
Teen FictionMeskipun gantengnya selangit, Kania tetap tidak menyukai Nolan. Baginya, cowok itu aneh karena selalu pakai kacamata hitam. Karena itu dia menjulukinya Mr. Black. Namun, sebuah insiden kecil malah mengharuskan Kania jadi asisten pribadi cowok itu. P...