21 ~ CURIOSITY

5.7K 316 9
                                    

Seorang pria sedang duduk di ruang tamu seorang diri, menghentikan petikan gitar lalu meletakan benda kesayangannya itu bersandar di sisi kiri sofa.

Pandangannya tertuju pada jaket berwarna abu-abu yang terlipat rapi di atas meja.

Inspirasi untuk membuat lagu seketika hilang, ada hal lain yang sedari tadi terus muncul dalam pikirannya dan itu sungguh mengganggu.

"Kenapa aku malah kepikiran Anna?" tanya Ryan dalam hati.

Mengingat sejak pertemuan terakhir mereka yang cukup berkesan itu, Ryan menjadi lebih serakah dan ingin bertemu Anna lagi.

Hanya saja, selama ini ia menahan diri karena gengsi. Ryan tidak boleh menunjukan sisi lain dalam dirinya, bahwa ia tertarik pada Anna.

Ryan jadi bertanya-tanya. Apa Anna sungguh penggemarnya? Wanita penuh pesona itu, bahkan punya nomer ponsel pribadi Ryan.

Tapi, sampai detik ini Anna tidak pernah sekalipun menghubungi Ryan lebih dulu. Sungguh, penggemar yang aneh.

Ryan menimang-nimang ponsel dalam genggamannya. Berpikir berjuta kali, haruskah ia membuang gengsi itu dan menghubungi Anna sekali lagi?

"Terserah, deh!" Ryan meletakan ponselnya di atas meja.

Tubuhnya bersandar rapat ke sofa, dengan posisi lengan kanan menutupi setengah wajah.

Belum sampai lima menit, Ryan kembali ke posisi semula. Mengambil ponselnya lagi dan tanpa berpikir panjang langsung menghubungi Anna.

Panggilan ditolak.

Melihat notifikasi tersebut, Ryan hampir kehilangan rasa percaya diri. Ia bahkan menampar pipinya, untuk memastikan bahwa yang terjadi saat ini hanya mimpi belaka.

Tidak mungkin penyanyi muda dan populer seperti Ryan diabaikan oleh orang biasa yang notabene-nya adalah penggemarnya sendiri.

"Aku jadi semakin penasaran denganmu, Anna ...." Ryan menatap layar ponselnya lekat. Sudut bibirnya terangkat, membentuk tersenyum tipis penuh karisma.

•••

"Wah, cantik banget pemandangannya." Tamara bergumam sendiri, matanya mengamati pemandangan indah ibukota yang terlihat bersinar di malam hari.

Kelap-kelip lampu gedung, membuat Tamara segera mengeluarkan ponsel, tidak lupa ia mengambil beberapa foto untuk mengabadikan momen indah itu.

"Pasti sulit reservasi di sini ya, Bar." Pandangan Tamara berpindah pada pria bersetelan rapi yang duduk di depannya.

Akan tetapi, Bara seperti patung hidup. Ia melamun dengan tatapan kosong.

Tamara menyentuh punggung tangan Bara lembut, membuat kesadaran Bara kembali.

"Hah? Ada apa?"

"Nggak apa-apa." Tamara menggeleng. "Kamu banyak kerjaan, ya, di kantor?"

Bara memijit pelipisnya lalu mengangguk lemah. Pekerjaan kantor memang banyak, bahkan ada beberapa dokumen yang menumpuk di meja kerja.

Namun, bukan hanya itu ... Bara juga tenggelam dalam pikirannya terhadap wanita yang ia rasa mirip dengan sosok Amanda.

Apa yang sebenarnya membuat Anna semirip itu dengan Amanda? Bara juga tidak tahu, entahlah ... mungkin intuisi-nya yang keliru.

Sebut saja Bara pengecut. Ia telah membuat kesalahan fatal pada Anna. Tapi, sampai sekarang Bara tidak pernah sekalipun menunjukan diri di hadapan Anna semenjak kejadian itu.

Bara yang harusnya meminta maaf karena tindakannya, seperti masih mengumpulkan keberanian untuk menemui Anna. Ia masih ingat bagaimana tatapan wanita cantik itu padanya, Anna benar-benar terlihat sangat marah dan kecewa pada Bara.

The Second Life Memory (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang