27 ~ NO ONE BETTER

4.6K 259 11
                                    

Bara meluangkan waktu di sela kesibukannya untuk menjemput Tamara di bandara.

Sekembalinya dari Thailand, Tamara senang karena orang pertama yang ia temui adalah Bara. Pelukan hangat penuh kerinduan itu terlepas, wanita berkacamata di atas kepala itu lega, karena akhirnya ia bisa bertemu dengan kekasih.

"Di Phuket cantik banget loh, warga lokal juga ramah banget, Bar!" Tamara memberitahu antusias.

"Oh, ya?" Bara mengambil alih koper Tamara, berjalan beriringan menuju tempat parkir.

"Kapan-kapan kita harus liburan ke sana!"

"Boleh."

Dari bandara sampai di dalam mobil, Tamara terus-menerus menceritakan kegiatan dan proses syuting yang dilakukan.

Sedangkan Bara yang sedang menyetir tampak fokus mendengarkan.

"Oh, iya. Selama aku di Thailand kenapa kamu tidak pernah menghubungiku?"

Bara menoleh pada Tamara singkat.

"Aku cukup sibuk di perusahaan, ada banyak hal yang diurus. Maaf, karena aku tidak menghubungi kamu."

"Oh, begitu ...," balas Tamara singkat.

Setelah percakapan itu, suasana di antara keduanya mendadak hening. Bara tidak berpikir macam-macam dan menganggap Amanda hanya lelah. Pria itu menyalakan musik sendu di dalam mobil.

"Bara!"

"Iya?"

Tamara membalik sedikit tubuhnya, condong menghadap ke kanan.

"Pernikahan kita ditunda sudah terlalu lama. Bagaimana jika kita menyiapkannya kembali?" tanya Tamara memberanikan diri.

Selama ini, ia sudah memendam keinginannya itu cukup lama. Belum lagi pertanyaan sama yang terus diajukan kedua orang tuanya, membuat Tamara malas berdalih.

"Iya, kita akan menyiapkannya."

Amanda tersenyum hambar, respon Bara selalu sama.

"Kapan?"

"Nanti, ya."

"Nanti itu kapan?" tanya Tamara tidak sabaran. "Apa kamu tidak bisa memberi kepastian kapan waktu yang tepat untuk melangsungkan pernikahan kita?"

Bara menoleh sebentar pada Tamara yang terlihat marah. Ia memilih diam tidak menanggapi apapun, Bara hanya fokus menyetir.

"Jawabanmu selalu, nanti, nanti dan nanti." Melihat Bara yang tetap tenang, Tamara semakin emosi. "Sejak awal ... kamu memang tidak berencana menikahiku, 'kan, Bar?!"

Mendengar hal itu, Bara dengan cepat menepikan mobil ke pinggir jalan.

"Apa maksud kamu?" tanya Bara ketika mobil berhenti. Ia sama sekali tidak mengerti dengan sikap Tamara. Bukankah, sebelumnya mereka baik-baik saja?

"Jujur, aku lelah, Bara."

"Aku pikir kamu memahami kondisiku."

Tamara tersenyum getir, ia merasa terlalu bodoh karena cintanya terlalu besar pada Bara selama ini.

"Bukankah selama ini memang seperti itu? Selalu aku yang memahami kamu?" Tamara membuka pintu mobil dan keluar. 

"Tamara, tunggu!" Bara bergegas menyusul Tamara. Ia berhasil menahan wanita cantik itu sementara.

"Sampai kapan kamu menjadikan orang-orang yang sudah mati itu sebagai alasan?!" Tamara terlanjur marah, ia menepis tangan Bara kasar.

"Kamu nggak tahu posisi aku. Aku baru aja kehilangan Bunda. Dan, kata pernikahan itu sendiri membuat aku selalu terngiang-ngiang dengan kematian Manda. Lalu, aku bisa apa?"

The Second Life Memory (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang