TAMAT & PART LENGKAP
May contain some mature convos and scenes
Menurut perjanjian, Robyn hanya boleh berurusan sekali dengan kliennya. Itu idealnya, tapi hidup Robyn tidak pernah berjalan sesuai dengan rencana. Robyn justru kembali bertemu dengan H...
Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.
Thank you :)
🌟
Aku menyumpalkan dimsum ke mulutku. Masih tidak ingin kembali ke area VIP, tapi mataku aktif mengawasi Harsa. Mataku melompat ke sekitaran. Aku baru menyadari kemegahan gedung dengan dekorasi putih dam emas. Bunga mawar putih tersebar di berbagai sisi. Di tengah ruangan ada pergola dengan pencahayaan dan bunga yang menjuntai dari atas. Aku bisa melihat kedua pengantin melakukan dansa di sana dengan iringan musik lembut.
Setelah satu porsi dimsum dan es krim, aku kembali ke meja itu. Harsa sudah menduduki bangkuku. Sayup-sayup aku mendengar obrolan mereka. "Jangan judes-judes. Kita mau kasih dukungan moral. Kasihan juga teman kencan lo."
Harsa dan temannya yang membelakangku terus mengobrol. Dua orang lainnya juga sibuk dengan ponsel. Hanya satu yang menyadari kedatanganku.
"Lo dan si Kamala yang pesenin itu, Tata Dado," ketusnya, "gue masih mampu ngajak cewek buat ke kondangan doang. Nggak usah sampai bayar. Ngerendahin harga diri gue aja."
Aku masih berdiri di belakang Harsa. Jaraknya empat langkah, hingga aku masih bisa mendengar apa pun obrolannya. Satu orang yang tadi menyadari kehadiranku, dengan batik lengan pendek dan penampilannya paling bersih tanpa tinta di lengan, hanya duduk diam mendengarkan. Sudut bibirnya berkedut menahan tawa.
"Lo lama nggak nge-date. Residu jomlo ngenes lo terlalu pekat," sahut orang yang dipanggil Tata Dado itu. "Gue curiga lo lupa caranya ngomong sama cewek."
"Bukan berarti lo bawa cewek sembarangan ke sini. Kalau ada mantan kliennya di sini dan kenal, mau ditaruh di mana muka gue?" Harsa membuang napas kasar. "Mana masih muda banget. Bocah sekarang kenapa nggak mau usaha dari bawah, ya? Maunya cepet dapat duit doang sampai mau kencan-kencan gini."
Sembarangan? Bah.
Bak menyiramkan bensin ke api kesal Harsa, temannya yang menyadari keberadaanku bertanya dengan matanya yang bersinar geli. "Emang kenapa, Sa? Gue nggak lihat ada yang salah. Dia cantik, pembawaannya jug nggak norak kayak mantan-mantan lo." Dia terdengar membelaku, tapi aku tahu tujuannya bukan untuk itu.
Harsa mendengkus. "Muka gue nggak ada kalau bawa cewek kayak gitu ke acara keluarga. Lo tahu juga sepupu cowok gue banyak. Kalau ada yang sempet kencan sama dia, gimana? Gue malah jadi bulan-bulanan mereka nanti."
Kayak gitu? Memangnya gue kayak gimana? Aku menggigit lidahku untuk tidak memuntahkan kalimat itu.
Dia berpikir kalau aku menjual tubuhku? Semua dumelan yang dia lontarkan saat pertama bertemu semakin masuk akal. Sama seperti yang mengira ada tarif untuk happy ending di layanan ini, Harsa juga berpikiran yang sama. Hanya saja dia lebih vokal menunjukkan moralnya ketimbang aku. Meskipun itu melenceng jauh dari kenyataan.
Makin lama di sini, tanganku semakin gatal untuk melemparkan gelas sekaligus isiannya ke Harsa. Dengan tambahan piring. Mungkin juga pisau makan yang sudah aku asah. Tapi ancaman Rowen yang tidak berhenti memantul di kepalaku. Aku tidak bisa merealisasikan berbagai macam cara untuk melukai Harsa karena aku masih ingin tempat untuk tidur satu bulan ke depan.
Harga diriku aku telan bulat-bulat. Memasang senyum lebih mudah saat aku dapat melihat masa depanku yang tidak jelas harus tidur di mana atau perutku yang keroncongan sepanjang hari. Uangku tidak cukup lagi untuk membayar makan dan tempat tinggal. Padahal kalau dia tidak mau, tinggal tidak usah menjemputku saja. Toh aku tetap mendapatkan bayaran karena peraturannya pembatalan maksimal dua hari sebelum kencan.
Aku meletakkan satu gelas minuman di depan Harsa dengan senyuman. "Minum dulu. Capek kan ngomong terus," sindirku. Dia menggumamkan terima kasih setelah dia menjauhkan tubuhnya sedikit dariku karena terlalu kaget, tapi tidak menyentuh gelas yang aku berikan.
"Sasa?"
Kami berdua serempak menoleh ke belakangku. Uh-oh, klan paling berbahaya di kondangan mana pun: ibu-ibu dengan jambul khatulistiwanya.
"Kamu itu lama nggak datang ke acara keluarga."
Aku menarik kesimpulan kalau ini adalah tantenya. Dengan pakaian yang sama heboh dan payet di semua sisi yang mampu menyangi pengantin, serta rambut badainya itu, aku yakin ini adalah tipe tante yang menyombongkan anaknya ke semua orang. Berlagak merendah untuk meroket sampai Mars.
"Kamu datang sendiri?" tanyanya padahal aku yakin dia sudah memiliki jawaban sendiri di balik rambut tingginya. Wajah yang sok khawatir menjadi pertanda kalimat mengerikan apa yang akan keluar dari mulut berbisanya. "Kamu itu makanya jangan kerja terus. Rania itu sepupu terakhir kamu yang belum menikah, lho. Yang lain sudah punya anak seengaknya satu. Lim dan Roy sudah punya dua anak malah. Kamu mau kasih cucu ke mami kamu kapan? Kasihan dia setiap lihat anak Lim dan Roy, kepingin banget kayaknya."
Harsa tersenyum dengan kedua lesung pipi yang muncul, aku mengira dia akan mengiakan, tapi aku tersedak air liurku saat dia membuka mulutnya. "Kalau usaha bikin anaknya sering, Tante. Tapi belum jadi-jadi, nih. Nanti aku kabarin di grup keluarga ya kalau udah membuahkan hasil."
Wajah perempuan tua itu menjadi merah hingga ke telinganya. Bahkan make up tebal tidak dapat menolongnya dari rasa malu akibat ucapan Harsa.
Aku sedikit paham kenapa teman-temannya memesan jasa Love 404, selain untuk mengisengi Harsa. Dia adalah orang terakhir di keluarganya yang belum menikah di usia kepala tiga.
"Kamu itu kalau dikasih tahu orang tua didengerin." Lalu ocehan yang mengisyaratkan orang tua selalu benar keluar, ditambah dengan bumbu sopan santun dan bagaimana berbicara dengan orang yang jauh lebih tua. Intinya, dia tidak pernah salah.
Teman-teman Harsa hanya menunduk dengan bahu yang bergetar dan tangan yang menutup wajah. Mereka semua tertawa.
Aku berdiri canggung di antara tawa dan kemarahan. Mau tertawa tapi ajaran sopan santun dari orang tuaku terlalu kental untuk diabaikan.
Saat tantenya Harsa pergi, gelak tawa meledak di meja itu. Mereka berlima tidak peduli dengan pandangan orang-orang. Aku menunduk dalam dan berjalan mundur tiga langkah. Ogah diasosiasikan dengan kelima orang yang mengganggu pernikahan dan mencuri fokus dari pengantin di pelaminan.
Kalau ini bukan pekerjaan dan taruhannya hidupku satu bulan ke depan, aku sudah hengkang dari sini. Aku tak kasat mata, tapi tidak bisa juga melakukan apa-apa. Ini satu tingkat di bawah Harsa menganggapku menjajakan tubuh di balik kata kencan. Apa dia tidak membaca peraturan yang diberikan melalui email? Ah, teman-temannya yang memesankan.
Namun, itu tidak membuat dia lebih baik di mataku. Aku bersumpah tidak akan mau bertemu dengan dia lagi.
"Sini, duduk." Temannya Harsa, entah namanya siapa, berdiri dari bangku putih yang didudukinya. Mendorong kursi saat aku akan duduk. Dan tersenyum saat aku menggumamkan terima kasih.
"Harsa memang begitu orangnya. Jangan diambil hati." Dia mengulurkan tangan ke arahku. "Kamal."
"Ro—,"
"Salika," timpalnya sebelum aku keceplosan memberikan nama asliku. Cengiran yang memperlihatkan deretan gigi rapi menular dan membuatku tersenyum lebar untuk pertama kalinya malam ini.
"Right, Salika." Keramahan menguar dari setiap pori Kamal dan kami terlibat dalam obrolan lebih banyak dari yang menggunakan jasaku. Kenapa bukan dia saja yang memakai jasaku? Aku tidak akan kapok.
6/10/23
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.