RaD Part 23 - 9.2 Lake Como & Sekamar Berdua

22.1K 2.5K 365
                                    


Question of the day: nggak pake lipstik apa nggak ngalis?

Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG & Twitter & Tiktok @akudadodado.
Thank you :)
🌟

"Kalau lo bawa dia ke pernikahan, terus bawa ke sini, berarti kalian serius, kan?" si tampan itu bersuara dengan senyuman ramah yang ditujukan kepadaku. "Bisalah sekamar buat empat malam. Bukan pertama kalinya juga, kan?" Dia tertawa renyah, tapi aku bahkan tidak bisa membalasnya denan senyuman.

Excuse me, maksudnya apa? Aku menahan diri untuk tidak mengatakan itu karena kontrak tidak tertulis yang melibatkan uang.

Bagaimana dia melisankan dan nada yang digunakannya menggangguku. Lagian, memangnya kami pernah bertemu, ya? Satu-satunya pernikahan yang aku datangi bersama Harsa hanya pernikahan sepupunya beberapa bulan yang lalu. Saat itu aku tidak mengingat siapa pun kecuali lima orang yang berbagi meja denganku. Selain itu semuanya hanya samar-samar, tapi yang pasti aku tidak mengingat orang yang level tampannya sudah turun sepuluh tingkat di mataku.

Kalau ibuku mendengar apa yang diucapkan si tampan ini, dia akan langsung kena semburan serta kepretan air suci. Ibuku terlalu agamis untuk dunia yang terlalu progresif.

Respons yang tepat untuk ucapan si tampan ini adalah tidak. Tapi aku menunggu Harsa yang mengucapkannya, mengingat dulu dia mengatakan aku tidak boleh mengeluarkan suara.

Lalu kesadaran mengetuk kepalaku keras; Harsa dan suami pacarnya ini saling kenal? Pantas saja dia harus membawaku ke sini sebagai kedok. Bukannya aku komplain juga, ini menguntungkanku.

Bukannya menjawab ke si tampan, Harsa justru menunduk hingga mata kami satu garis lurus. "Nggak apa-apa?"

Lha?

Kenapa dia malah nanya?

"Kamar di sini cuma tiga puluh something dan sudah terisi sama tamu pengantin semua. Satu hotel ini privat selama empat malam." Si cantik menambahkan sambil meringis.

Sialan sekali para orang kaya ini. Tidak bisa apa mereka sedikit merakyat dengan membiarkan tamu luntang-lantung mencari penginapan sendiri?

Dengan tiga pasang mata yang tertuju kepadaku, aku tidak bisa mengeluarkan jawaban lain selain "Iya, nggak apa-apa." dan menambahkan dalam hati kalau Harsa harus membayar lebih untuk hal ini. Aku akan mengeruk isi dompetnya karena berani-beraninya berbagi ruangan yang sama denganku selama empat malam. Pacarku saja tidak pernah mendapatkan privilese ini.

"Invois yang saya kirimin waktu balik ke Jakarta bakalan bikin tabungan saya tambah banyak," gerutuku saat kami sudah berpisah dari pasangan itu dan berdiri di depan pintu kamar. Tangan Harsa sudah lepas dari pinggangku dan dia kini bahkan menggerek koperku juga setelah selama perjalanan membiarkanku menggotong koperku naik dan turun kereta.

"Iya. Kamu hitung aja."

Dan ketakutan yang bercampur kesal terbukti saat memasuki kamar. "Bapak, one bed isn't my favorite trope! Kalau Bapak khilaf gimana?!"

"Kamu pikir saya hewan yang ngandelin nafsu tanpa punya kriteria?" Harsa berdiri dan menatapku dari ekor matanya. Dari posisiku yang lebih pendek, dia terlihat seperti berpikir kalau aku gila.

Aku menarik kerah turtleneck-ku yang tiba-tiba membuatku terasa sangat panas dan melotot kepada Harsa yang sudah membuka koper.

Maksudnya apa itu? Gue jauh di bawah kriteria buat mancing dia nafsu gitu? Bah, macam mau aja.

"Bapaaak. Denger nggak dulu saya bilang nggak pernah nginep sama pacar? Masa saya tidur seranjang pertama kali sama Bapak? Nggak ikhlas tujuh turunan saya."

Rent a Date [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang