Question of the day: martabak manis atau asin?
Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.
Thank you :)
🌟
Aku suka kuah asin dan karena Harsa tidak jelas menjawab pertanyaanku tadi, aku mengasumsikan seleranya sama seperti Ekata: manis. Jadi saat dia mengatakan, "Saya nggak suka manis." Aku hampir menyiramkan ramen ini ke kepalanya. Tidak peduli dengan cowok yang aku yakin bernama Ekata tengah tersenyum geli menatap interaksi kami berdua sembari menutup mulut dan menyandarkan bahu ke sofa yang ada di ruangan Harsa. Aku mengingatnya dari kencan bayaranku dengan Harsa. Dia salah satu yang ada di meja bundar dengan tindikan di telinga yang banyak.
Aku menahan diri dengan mengeratkan pegangan ke tali tas yang aku pakai untuk membawa ramen dan minuman.
"Tapi tadi kata Bapak terserah apa aja."
Mata Harsa lalu mengarah pada ramenku yang otomatis membuatku menyembunyikannya di balik paha. Membuat tameng agar dia tidak mengincar satu-satunya kebahagiaanku setelah serangkaian kesialan sampai siang hari ini.
"Itu kuahnya apa?"
Aku merengut, membuang napas perlahan dari mulutku yang berbentuk o kecil. "Asin, Pak."
"Tukar sama punya saya," todong Harsa. Dia menggeser mangkok ramennya ke arahku. Suaranya pekat dengan otoritas, tidak memberikan celah untukku membantah.
Aku menggigit bagian dalam pipi. Jika ada yang akan aku lindungi dengan seluruh jiwa dan raga, itu adalah makanan. Bahkan Rowen akan aku tukar dengan makanan kalau bisa. Minim sakit hati, banyak senangnya.
"Makan yang ada aja, Sa. Lo yang bilang terserah juga tadi waktu ditanya." Ekata coba menengahi pertarungan tidak penting kami perkara makanan. Dia menuangkan kuah ramennya dan langsung menyantap. Matanya masih berpindah antara aku dan Harsa dengan senyum yang tidak berhenti terukir di bibirnya. Dia jelas terhibur melihat penderitaanku, tapi dari Mirna yang bisa makan santai di jam istirahat, aku yakin dia bukan bos diktator nan otoriter.
Kenapa bosku bukan Ekata? Kenapa bosku berbeda?
Aku mengesah pasrah, "Nggak apa, Pak. Tukar sama punya saya aja."
Ingat akan Tuhan menjadi satu-satunya jalan menuju kebebasanku dari pikiran buruk yang berakhir dengan siksa kubur. Juga uang yang akan masuk ke rekeningku setiap bulannya. Yang terakhir lebih besar pengaruhnya, karena aku bisa meminta pengampunan Tuhan, tetapi tidak dengan Rowen yang sudah bersekutu dengan iblis.
Aku menukar mangkuk kami dan berjalan lunglai keluar ruangan Harsa diiringi tawa Ekata di belakang tubuhku. Aku tidak tahu ada apa dengan teman-teman Harsa yang tampaknya menyukai kesialanku sebagai hiburan.
Harsa baru memanggilku lagi di sore hari. "Tolong buatin saya kopi. Apa aja yang ada di pantry."
That 'apa aja' shit again. Aku tidak akan tertipu kali ini. "Pakai creamer atau preferensi Bapak seperti apa?"
"Apa aja," ulangnya lagi dan mengusirku dengan kibasan tangan.
Aku kembali tidak sampai lima menit kemudian dengan secangkir kopi yang sudah aku letakkan di meja Harsa. Dia sedang memijit batang hidungnya dengan ibu jari dan jari telunjuk. Harsa menggumamkan terima kasih dan langsung menyeruput kopinya yang mengepul.
1.
2.
Belum sempat aku menghitung hingga ketiga, Harsa menyemburkan isian mulutnya ke udara. Lengan bajunya yang terlipat menjadi sasarannya untuk mengelap mulut yang basah. Tapi yang tidak bisa aku lewatkan adalah matanya yang melihat isian cangkir dan aku dengan garang.
Aku dapat merasakan asin dari kopi yang aku campur dengan tiga sendok makan garam dari wajah Harsa. Juga dengan wajahnya yang menahan untuk tidak mengeluarkan ramen yang siang tadi di makan.
"Kamu kasih apa ke kopinya?"
Aku mengedipkan mata, berusaha menampilkan citra polos. "Kenapa memangnya, Pak?"
Harsa mengambil tisu dan mengelap lidahnya lagi. "Ini asin, Robyn!"
Aku terkesiap, menutup mulut dengan tanganku yang tidak memegang nampan. "Astaga! Maaf, Pak. Saya tadi lagi mikirin file lain yang bapak minta digitalnya. Saya salah masukin garam kayaknya." Memasang tampang sedih dan khawatir, aku kembali bertanya, "Bukannya Bapak suka asin, ya?"
Semua resolusi untuk mengalahku menguap di udara. Niatanku dan emosiku memang tidak pernah berpegangan tangan untuk mencapai satu tujuan. Terutama aku punya kecenderungan nyebur dulu baru berpikir kemudian. Entah tenggelam, entah aku selamat, pokoknya aku menyelam dulu. Terbukti hasilnya lebih banyak mudaratnya, tapi aku tidak pernah kapok.
Aku setidaknya punya tiga minggu lagi untuk mencari pekerjaan jika dipecat karena sudah kurang ajar menaruh garam di kopi direktur. Tapi setidaknya aku mendapatkan kompensasi pemecatan. Apa tidak dapat ya dengan kelakuanku seperti ini? Aku menggeleng untuk menyingkirkan pikiran itu agar dapat menikmati wajah kecut Harsa.
"Tapi bukan di kopi saya!" Harsa menutup mata dan melipat bibirnya ke dalam mulut. He looks so done with me.
"Bapak mau saya buatkan kopinya lagi?"
"Enggak," ketusnya, "panggilin OB untuk bersihin ini dan buatkan saya kopi juga." Dia menunjukku dengan cangkir gelas di tangan kanan. "Kamu jangan pernah sentuh cangkir kopi saya lagi."
Aku mengangguk patuh dan tertawa kencang dalam hati. Sulit untuk menyembunyikan kebahagiaanku, jadi aku kabur dari ruangan Harsa sebelum tertawa di depan wajahnya. Kalau besok aku tidak dilempar saat datang ke kantor, aku akan menghitungnya sebagai kemenangan kecilku yang pertama.
16/10/23
Wkwkwk pembalasan Obyn yang bikin deg2an
KAMU SEDANG MEMBACA
Rent a Date [FIN]
ChickLitTAMAT & PART LENGKAP May contain some mature convos and scenes Menurut perjanjian, Robyn hanya boleh berurusan sekali dengan kliennya. Itu idealnya, tapi hidup Robyn tidak pernah berjalan sesuai dengan rencana. Robyn justru kembali bertemu dengan H...