Question of the day: David Beckham atau Hugh Jackman?Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG & Twitter & Tiktok @akudadodado.
Thank you :)
🌟"Aku hitung sampai tiga. Kalau nggak diambil, jaketnya aku yang pakai terus sampai selesai, lho." Aku memberikan peringatan kepada Harsa yang hanya menaruh lengannya di belakang kursiku. Menatapku balik seolah menantang. "Tiga," sambungku, "ini aku pakai sampai selesai acara."
"Aku tahu kamu bakalan curang kayak gitu."
"Itu bukan curang. Itu namanya seni bertahan hidup. Ini dingin, lho. Nggak mau pakai syal?" Setidaknya aku masih berbaik hati menawari sesuatu yang hangat untuk Harsa gunakan di suhu yang di bawah sepuluh derajat ini. Meski matahari bersinar, angin masih terlalu kencang dan dingin untuk diabaikan.
"Enggak. Aku pakai baju hangat lagi di bawah kemeja."
"Sombong banget mentang-mentang orang kaya."
Harsa tertawa kecil. "Emang apa hubungannya?"
"Kamu dulu sampai SMA di luar, kan? Pasti lebih biasa sama suhu kayak sekarang dibanding aku," dumelku. "Ikut kayak football gitu nggak kayak di novel-novel. Quarterback ganteng yang pacaran sama cheerleader."
"Ikut. Yang kamu sebutin itu aku lakuin semua."
Aku terkesiap, tubuku otomatis menghadap Harsa. Aku antusias mendengar ceriata ini meski aku tahu Harsa tidak mungkin mau menceritakan secara detail kehidupan SMA-nya dulu. "Serius? Kok orang-orang bisa hidup kayak di novel-novel, sih? Bikin iri banget. Terus kenapa putus?"
"Aku balik ke Indonesia. Kuliah, ikut tes aktuaria terus kerja."
Aku mendengkus. "Nggak asyik banget. Tapi kamu cocok sih ikutan football gitu. Badannya segede tembok beton, kalau aku ditabrak antara aku mental atau gegar otak permanen seumur hidup." Aku tidak berpikir panjang saat menaruh tanganku di lengan atas Harsa dan meremasnya. Tapi aku tidak menyesal karena itu kekar. Aku buru-buru menarik tanganku agar tidak ketahuan sedang merasa-rasai Harsa. "Kenapa milih balik Indo?" Ini topik yang aman karena aku tidak dapat memikirkan Harsa yang memakai celana ketat khas football dan tengah pemanasan di rumput hijau. Tanpa atasan.
Mata harsa yang tadi mengikuti tanganku yang sempat bertengger di lengannya kini kembali kepadaku. "Bosen jauh dari keluarga. Di sana aku tinggal sama keluarganya Rania."
Aku mengangkat alisku. Tidak percaya seratus persen dengan alasan bosen jauh dari keluarga yang Harsa berikan. Dia memutar bola mata.
"Rania balik ke Indo, jadi aku ikutan juga."
"Gitu dong. Jujur. Kalau kata anak-anak sekarang, kamu itu masuk dalam kategori bucin akut. Kasihan dilepeh gitu aja." Aku menepuk paha Harsa dua kali untuk menyampaikan rasa simpati, tapi jadi keterusan tiga kali karena paha itu terlalu kokoh untuk dilewatkan begitu saja. "Nyesel nggak balik Indo, tapi malah putus sama Bu Rania?"
"Bu Rania?"
"Aku nggak tahu manggil apa, jadi Bu Rania aja biar sopan."
Harsa menggoyangkan kepalanya ke atas dan ke bawah dua kali. "Enggak. Banyak hal baru yang aku dapat. Aku juga putus dari Rania nggak sampai setahun lalu."
Aku menutup mulutku yang terbuka lebar. Wow, gosip di sini semakin baik dari hari ke hari. Aku berbicara dengan suara kecil dan menutup mulut agar tidak ada yang dapat membacanya. Mode bergosipku sudah aktif, tapi aku perlu tetap menjaga kesopanan di sini. "Jadi Bu Rania sama suaminya yang kayak curut itu kenalnya belum ada setahun terus langsung nikah?"
Mata Harsa bersinar geli. "Kayak curut? Kamu lagi cari bahan gosip, ya?"
Dang. Harsa sadar kalau aku sedang menggali. "Dia ganteng kalau diam. Kalau mulutnya kebuka, minus seratus. Kerjaannya ngehina orang mulu. Aku bisa ngegosipnya sama kamu doang kalau soal ini. Aku perlu drama orang kaya yang lebih banyak buat referensi kehidupan. Biar nggak terlalu iri sama hidup kalian yang shining, shimmering and splendid." Aku sedikit bernyanyi di tiga kata terakhir.
Harsa mengambil helaian rambutku yang lolos melewati bahu dan mengembalikannya ke tempat semula. "Bilang aja buat hiburan kamu selama di sini. Kamu bisa bales omongan dia. Aku bayar kamu ke sini buat temenin, bukan dirundung sama orang lain. Nggak seru lihat kamu diam doang."
Kenapa telingaku mendengar kalimat Harsa tadi dan mengartikannya menjadi "Aku nggak mau lihat kamu dirundung, cuma boleh aku yang lakuin." Aku seperti mulai mengalami halusinasi akut.
"Emangnya aku apaan jadi tontonan. Kalau nggak seru lihat aku dirundung, kamu belain, dong. Mana ada cowok yang diem aja kalau pacarnya dijelekin orang? Pura-pura, sih emang. Tapi kan orang-orang nggak tahu."
Harsa mesem lalu cengiran terukir di bibirnya membuat napasku tercekat. Matanya memakuku dengan binar jenaka. "Buat apa aku keluar uang banyak kalau nggak dapat hiburan. Aku dari kemarin nungguin kamu damprat Damian. Jangan beraninya jago kandang aja sama aku di kantor."
Ah, jadi itu nama suaminya Rania. "Itu mah emang kamu mau aku balasin dendam kamu karena dia nikahin Bu Rania aja." Aku mencibir. Aku tahu Harsa memanfaatkanku agar tidak mengenaskan di hadapan Rania dan suaminya. Aku juga menerima bayaran untuk ada di sini. "Gini, nih, orang gagal move on. Makanya nggak punya pacar sampai temennya yang nyariin kencan sewaan."
Mata Harsa kembali turun, kali ini dia berhenti di leherku. Lama. Dia tidak juga mengalihkan tatapannya dari sana saat berbicara. "Kamu pikir aku nggak punya hal lain untuk dilakuin?"
3/12/23
WKWKWKWK mampus si Obyn. Apdet lagi kalau bintang dan komen udah lebih banyak dari part sebelumnya. Aku nggak kasih tanggal, komen yang banyak yaaa :) baca duluan part 29-44 bisa ke Karyakarsa Dadodado
Bantu aku dengan share ceritanya juga ya supaya cepet apdet hihi. Thank you
KAMU SEDANG MEMBACA
Rent a Date [FIN]
ChickLitTAMAT & PART LENGKAP May contain some mature convos and scenes Menurut perjanjian, Robyn hanya boleh berurusan sekali dengan kliennya. Itu idealnya, tapi hidup Robyn tidak pernah berjalan sesuai dengan rencana. Robyn justru kembali bertemu dengan H...