Question of the day: Nasi goreng apa mie goreng?
Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG & Twitter @akudadodado yaaw.
Thank you :)
🌟
"You are awfully quiet." Harsa sudah mengulang kalimat ini tiga kali semenjak siang hari, setelah jam istirahat. "Kamu beneran lagi ngerencanain sesuatu, ya?"
"Bapak tahu nggak hewan yang paling berisik apa?" Pertanyaanku yang tiba-tiba dihadiahi tatapan menghakimi oleh Harsa.
Satu minggu terakhir, aku menggigit lidah agar tidak menghakimi selera fashion Harsa dengan kemeja bergambarnya yang makin hari makin sulit aku tahan. Terutama setelah aku merasakan bagaimana leganya menyarakan ejekanku di depan orangnya langsung. Aku tidak menyangka keberadaan satu orang dapat memancing banyak penyakit di dalam diriku dan langganannya adalah migrain.
Mulutku kembali memiliki penutup setelah fakta baru yang aku dengar dari Wina. Kalau Harsa direksi, biarpun statusnya juga karyawan yang digaji meskipun beda tingkatannya bagai langit dan bumi denganku, tapi itu bikin Harsa lebih ... mudah untuk dikatai? Dengan statusnya yang anak empunya perusahaan tidak heran orang-orang berjalan berjinjit di sekitarnya. Kalau mengikuti film-film atau sinetron, dia ada kemungkinan dapat warisan perusahaan ini kalau anak tunggal. Sedangkan aku justru mengatai selera berpakaiannya yang buruk dengan seenak udelnya.
"Kamu."
"Saya manusia, Pak. Yang saya tanya hewan. Lagian, saya diem salah, saya ngomong salah juga. Bapak maunya apa, sih?"
Harsa diam jadi aku menodongnya lagi. "Bapak mau tahu nggak apaan?"
"Saya bilang enggak juga kamu bakalan tetap kasih tahu."
Antusiasmeku tidak peduli dengan respons datar Harsa. Ini menjadi rutinitas kami; saling tidak peduli dengan ketidakpedulian masing-masing. "Pistol shrimp. Dia bisa hasilin suara 230 desible dengan cangkangnya yang dikatupin, terus keluar gelembung. Nah gelembung ini yang meledak. Suaranya lebih kenceng dari pistol."
Harsa tidak memberikan respons selama satu menit penuh. Pandangan kami hanya bertemu seakan dia tengah mengalkulasi sesuatu. Aku yang enggan mundur dari ajang lomba saling melotot tidak mundur dan balik menatapnya.
"Saya itu sudah tentuin standar aneh kamu segini ya, Bek." Harsa memberikan tanda menggunakan jarinya di depan dada. "Saya baru terbiasa dengan yang ini. Eh, kamu bisa-bisanya naik ke sini tiap buka mulut." Tangan Harsa yang lain memberikan tanda di atas yang tadi. Kali ini di dagunya.
"Nggak bosen kan, Pak, jadinya. Wawasan Bapak juga bertambah dengan fakta baru."
"Fakta yang saya nggak perluin dan nggak mau dengar," tandasnya.
Bibirku maju lima senti. "Bapak, ini ada dokumen urgent lagi dari Pak Togu."
Harsa menatap clear map yang aku sodorkan kepadanya lalu berdecak. Hanya itu, tapi dia tetap membukanya tanpa protes. Aku tahu Harsa pasti melihat tanggal yang memiliki jeda panjang dengan naiknya memo kepadanya, tapi dia tidak sama sekali. Malah aku yang kesal sendiri karena dia lembek kepada orang lain yang harusnya mendapatkan omelan.
Aku menggeser bangku hingga duduk di sisi meja yang lebih dekat dengan Harsa. Aku perlu tahu. Aku perlu tahu. Pokoknya aku perlu tahu!
"Bapak, kenapa nggak ngomel kalau dikasih dokumen yang mepet kayak gini? Atau kalau Pak Togu melenggang masuk seenak udelnya kayak tadi sore?"
Pertanyaan terakhir itu yang paling bikin aku kesal sebenarnya. Togu tidak hanya melakukannya sekali, tapi terlalu sering untuk dapat aku hitung. Aku sudah mencegahnya dengan berbagai alasan, terutama karena aku sudah mengatur waktu Harsa untuk membaca dokumen setiap sore, tapi menghalanginya hanya akan mendapatkan kata-kata sinis seperti "Yang mau saya omongin itu penting. Kamu nggak tahu bedain mana yang urgent mana yang bukan? Kamu pikir saya punya waktu buat basa-basi nggak penting?"
Aku tidak sempat membalasnya karena dia langsung menyelonong masuk ke ruangan Harsa. Aku juga tidak mau membuat musuh dengan menggalaki kadiv yang hubungannya erat dengan bosku. Bagaimana pun, bagaimana sekretaris bertindak dapat berimbas ke bosnya.
Harsa tidak menjawab pertanyaanku. Aku merasa perlu mendesaknya untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang sudah membuatku penasaran berat. "Bapak kan anak yang punya pe—"
Aku mengerem mendadak saat menyadari apa yang akan aku ucapkan. Aku keceplosan.
Namun, ini menarik perhatian Harsa dari barisan kata di tangannya. Dia berpangku tangan dan menatapku dengan bosan. Dia tengah menghitung sesuatu di dalam kepalanya lalu membuka mulut.
Tunggu-tunggu. Ini hal yang semua orang tahu, kan? Maksudku, Harsa anak yang punya perusahaan ini semua orang tahu, kan? Kenapa rasanya aku baru saja mengintip rahasia yang aku tidak boleh ketahui?
"Sejak kapan kamu tahu?"
"Minggu lalu," jawabku takut-takut. Kepalaku menunduk dengan mata berada di satu titik di atas dengkulku. Sesekali aku mengintip dari sela-sela poniku yang menutupi wajah.
"Jadi, karena itu kamu seminggu ini nggak bikin snarky comments ke saya dan jadi lebih penurut?"
Aku melemparkan tatapan ke langit-langit, lalu lantai, lalu lemari di belakang Harsa. Ke mana pun asal bukan matanya yang menatapku tajam dan menunggu jawaban yang enggan aku berikan hingga dia menarik kesimpulan sendiri. Kesimpulan yang tidak perlu otak encer untuk memikirkannya.
"I hit the nail on the head." Harsa melipat tangannya di depan dada dan menyender. Secercah binar keramahan dan usil yang menari di matanya setiap hari menghilang seketika. Tembok dingin seperti saat perkenalan pertama menjulang tinggi di antara kami. "Kamu bisa balik ke meja kamu. Dokumennya taruh di sini saja. Kamu juga bisa pulang pukul lima."
Eh? Lho?
Setiap kata yang diucapkan Harsa terasa kaku. Meski pun Harsa biasa berbicara lugas dan irit, tapi nada yang digunakannya tidak pernah seperti sekarang. Dinginnya tiap kata memasuki pori-pori dan menusuk tulangku.
Jarak yang kami pangkas selama tiga bulan ini kembali utuh. Aku seperti menginjak ular di permainan ular tangga dan meluncur turun ke titik awal tanpa aku sadari.
Aku masih mengumpulkan nalarku yang tercerai berai lantaran tidak paham apa yang terjadi, tapi Harsa sudah menganggapku tidak ada di ruangannya lagi. Matanya hanya sibuk membaca dan jarinya sibuk membuka lembaran. Sesekali berpindah ke layar untuk mengecek tabel yang sudah terbuka di komputernya.
Dengan linglung, aku keluar dari ruangan Harsa dan duduk di mejaku. Masih sempat mengucapkan permisi yang dianggap angin lalu oleh bosku. Dari sela-sela frozen glass, aku bisa melihat Harsa di mejanya, tapi kenapa rasanya jarak kami lebih jauh dari sekedar di pisahkan kaca saja, ya?
11/11/23
Sasa tuh perhatian tipis-tipis ya wkwkw
KAMU SEDANG MEMBACA
Rent a Date [FIN]
Literatura FemininaTAMAT & PART LENGKAP May contain some mature convos and scenes Menurut perjanjian, Robyn hanya boleh berurusan sekali dengan kliennya. Itu idealnya, tapi hidup Robyn tidak pernah berjalan sesuai dengan rencana. Robyn justru kembali bertemu dengan H...