RaD - 3.1 Obyn Pasrah & Berserah

16.4K 1.9K 319
                                    


Question of the day: opor atau rawon?

Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.
Thank you :)
🌟

Sudah dua bulan aku bekerja dengan Harsa, tapi aku juga belum menemukan sisi yang aku suka dari dirinya, atau sebaliknya. Dalam posisiku yang sekretaris, ini lebih buruk untukku. Bosku tidak melihat sisi diriku yang positif sama sekali, bahkan aku tidak diizinkan mendekati cangkir kopi miliknya karena dia takut aku racuni. Yang dia tidak ketahui, Harsa justru memberikanku ide untuk melakukannya.

Ponselku yang tergeletak di atas meja mengalihkan fokusku dari jadwal Harsa yang tengah aku tata. Ada beberapa permintaan untuk rapat dengan pihak eksternal terkait harga premis juga beberapa pertemuan yang aku tidak pahami apa, tapi aku berencana untuk mempelajarinya sedikit demi sedikit untuk memperlancar pekerjaanku. Tidak mungkin kan jika ada yang meminta dokumen dan aku tidak tahu itu dokumen apa isinya.

Owen

Gimana rencana seduce your boss? Udah mulai dijalanin?

Aku berjengit ngeri membaca pesan di layar ponselku. Hampir saja benda persegi itu terlempar jika tidak ingat cicilan yang masih tersisa tiga bulan lagi.

Rowen, yang satu-satunya menjadi tempatku berkeluh kesah meskipun aku mendengar sindirannya tanpa henti seperti "Udah gaji kecil, makan hati terus. Resign aja lah." Aku hampir percaya kalau dia tengah meyakinkanku memilih yang lebih baik, tapi aku tahu kalau itu hanya menggodaku untuk mengikuti jejaknya. Dan karena kemampuan decision making-ku tidak pernah baik, seperti instingku, aku mencurahkan seluruhnya kepada Rowen.

Dengan briliannya dia memberikan jalan keluar yang tidak masuk nalarku. "Kalau dia nggak suka sama sisi profesional lo, cobain sisi penggoda. Kali aja lo dapat bonus atau hadiah-hadiah lebih kalau dia tertarik." Alisnya naik turun.

Aku memijat pelipisku karena saran itu membuatku pusing. "Please, jangan saranain buat tukar kenyamanan kerja dengan prostitusi."

Tawa keluar dari bibir Rowen, "Nggak ada yang bilang itu prostitusi. Itu namanya alat tukar."

"Lo sadar kan kalau itu sama aja?"

Rowen kembali terkekeh, "Lo punya pilihan apaan emangnya buat pertahanin pekerjaan lo? Kalau bos lo aja antipati gitu. Mulai cari kerjaan lagi, gih, sebelum lo nggak diperpanjang."

Aku sudah memikirkan itu semenjak hari pertama, mengirim banyak lamaran pekerjaan, hingga akhirnya aku sedikit tenang. Tapi mendengar Rowen mengungkitnya, membuat gusarku merangkak kembali ke permukaan. Tidak ada yang bisa aku lakukan kalau bosku tidak menyukai keberadaanku dan hanya menolerir hingga akhir masa percobaan. Jadi aku menyerahkan hidupku sepenuhnya di tangan Harsa.

Laju kereta yang memikirkan masa depanku yang suram terhenti saat Harsa berjalan melewati mejaku dengan langkah lebar dan pasti selayaknya jenderal yang siap berperang. Tenaganya berada di level teratas setiap hari, hingga aku sempat berpikir jangan-jangan Harsa itu robot yang tengah dalam masa percobaan untuk menggantikan tugas manusia.

Seperti setelanku selama dua bulan terakhir, aku langsung berdiri dan mengekori Harsa dengan patuh. Dia duduk setelah meletakkan tasnya di atas lemari belakang.

Aku berdiri tepat di depan meja Harsa hingga aku dapat melihat apa yang dikenakannya dan karena aku sudah berserah pada takdir, mulutku lepas kendali dan berucap tanpa kepalaku dapat olah dulu. "Pak, baju Bapak kayaknya makin kecil dari hari ke hari. Itu kancing di dada dikit lagi mau lepas terus nyolok mata saya." Ini analisis yang aku telan dan sekarang talinya lepas.

Namun, kemeja bermotif konyol yang Harsa kenakan hari ini susah untuk tidak dikomentari. Dia mengenakan kemeja dengan motif kepala Mickey Mouse berukuran kecil yang tersebar. Bahkan kancingnya berbentuk kepala tikus terkenal itu. Sebelum ini dia memakai kemeja dengan motif jamur. Harsa hanya berpakaian normal—batik—jika ada rapat dengan pihak eksternal. Itu alasannya lemari di belakang Harsa terisi dengan berbagai macam batik.

"Kamu kayaknya nggak takut lagi sama saya, ya?"

Ck. Harsa sadar kalau selama ini aku berjinjit di sekitarnya. Helaan napasku keluar, tapi bahuku tetap tegak. Menatap balik matanya yang selalu fokus ke lawan bicara. "Saya udah pasrah, Pak. Kalau nggak diperpanjang, ya udah nggak apa. Saya punya tabungan yang cukup buat bayar kostan dua bulan sebelum didepak ke jalanan."

Ini pertama kalinya kami berbicara di luar konteks pekerjaan. Aku berusaha seprofesional mungkin agar kontrakku berubah menjadi pegawai tetap, tapi semua kebaikanku dilepeh oleh Harsa. Saran dari Rowen pun tidak mungkin aku lakukan. Iya kalau Harsa tertarik, kalau tidak, aku tidak perlu menunggu bulan ketiga sebelum didepak. Coret kemungkinan dia tertarik, jadi sudah pasti aku akan keluar jika menginisiasikan hubungan lebih dari sekedar profesional kepada bosku.

"Nggak bisa kasih sontekan, Pak? Saya jadi pegawai tetap atau enggak, gitu. Kalau enggak, saya mau lamar pekerjaan lain aja mulai sekarang."

"Bukannya sudah cari dari bulan lalu? Kamu ngelamar jadi manager café, kan?"

Gah, dia tahu dari mana? Kepalku otomatis menoleh ke arah meja yang terlihat dari kaca besar d samping pintu Harsa. Jangan-jangan ada kamera yang aku nggak tahu?

Harsa mengeluarkan tumblr yang isinya kopi yang dia bawa dari rumah. Biasanya habis di siang hari, dan di sorenya dia akan minum lagi. Jika mobil memerlukan bensin, Harsa memerlukan kopi untuk beroperasi. Aku yakin jika dia terluka, darah yang keluar bukan merah, tetapi hitam dengan biji kopi yang dihaluskan.

"Kamu ngelamar di cafenya Kamal, kan?"

Aku menggigit bibir atas kebodohanku yang percaya saja iming-iming Kamal saat melihat wajah kusutku ketika dia datang untuk makan siang di kantor Harsa bersama dengan Ekata, Jesse, dan Sada. Mereka berempat adalah sahabat dari Harsa yang juga aku lihat di pernikahan dulu.

"Aku nggak akan bilang ke Harsa kalau kamu ngelamar ke sana," janji Kamal dulu. Kan? Kemampuan decision making-ku memang jongkok. Aku hanya melompat dari satu keputusan buruk ke keputusan buruk lainnya.

"Kenapa nggak kamu terusin proses di sana?"

Aku duduk karena pertanyaan ini seperti ranjau darat. Satu langkah salah, aku akan menjadi pengangguran.

Tanganku memilin ujung rok span abu yang aku kenakan. Seolah mencari jawaban yang masuk akal agar aku dapat tetap bekerja di sana, tetapi hasilnya nihil. Alasanku adalah rasa sentimental karena ini pekerjaan pertamaku. Sesuatu yang pertama kali jelas memiliki ikatan emosional tersendiri. Aku juga bukan tipe kutu loncat yang berpindah-pindah dengan mudahnya, terutama karena aku masih terikat kontrak. Sebesar apa pun keinginanku menerima tawaran pekerjaan dari Kamal setelah rentetan wawancara dari HRD, aku berakhir menolak dan mengucapkan maaf kepada Kamal.

"Saya kan masih kontrak di sini sampai bulan depan, Pak. Selesaiin dulu. Karena saya sudah pasrah sama jalan takdir yang Bapak tentukan, saya juga capek nggak komentarin style Bapak yang jauh lebih buruk dari perkiraan saya, jadi Bapak siap-siap, ya. Rem saya sudah blong."

20/10/23

Wkwkwk Obyn udah blong remnya. Udah berserah pada takdir wkwkwk

 Udah berserah pada takdir wkwkwk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rent a Date [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang