RaD - 4.1 Punggung & Buah Dada

14.2K 1.6K 347
                                    


Question of the day: Bubur ayam diaduk atau bubur ayam nggak diaduk?

Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG & Twitter @akudadodado yaaw.
Thank you :)
🌟


Karena sudah kadung kurang ajar, aku menikmati dua minggu terakhir ini dengan segenap jiwa dan raga. Capek juga ditindas terus. Sudah di kostan aku ditindas Rowen, di kantor ditindas Harsa pula. Dengan pemikiran itu, dinamikaku dan Harsa berubah. Aku tidak lagi segan kepadanya dan mengoceh bahkan saat dia tidak perlu mendengar omelanku.

"Robyn, kemeja batik saya yang warna hitam di mana?"

Mau aku bilang sampai mulutku berbusa kepada Harsa untuk menggunakan interkom saat memanggilku pun rasanya percuma. Dia akan berlagak ini hutan belantara dan berteriak dari ruangannya yang selalu terbuka.

"Robyn, ini saya di mana?" Atau "Robyn, itu saya di mana?" Padahal semuanya ada di depan matanya, tapi tidak ada yang dapat dia temukan hingga aku yang menunjukkannya tepat di depan hidung bosku.

Aku muncul di pintu ruangan Harsa dengan dokumen yang akan aku distribusikan ke tim terkait. "Di lemari Bapak." Aku mengangguk kepada Ekata yang duduk di sofa. Satu tangannya berada di punggung sofa dan yang lain memegang ponsel sambil cengar-cengir.

"Di mana?" desak Harsa yang menarik pandanganku dari Ekata.

Harsa berdiri di antara meja dan lebarnya yang terbuka. Kedua tangannya berada di pinggang dan kedua tungkai panjangnya terbuka selebar bahunya. Aku meletakkan dokumenku di meja Harsa dan berdiri di sampingnya. "Pak, ini saya sudah pisahin kemeja Bapak berdasarkan warnanya." Aku mendorong seluruh yang warnanya paling banyak ke sisi kanan. "Ini hitam. Bapak mau hitam yang gimana?" Aku mengambil satu kemeja dan menunjukkan motifnya kepada Harsa. "Ini paling jarang Bapak pakai. Yang terakhir dipakai di ujung yang lain."

Harsa melipat bibirnya ke dalam, "Saya punya batik ini?"

Sudah aku duga kalau Harsa pasti akan mengajukan konyol itu, sehingga aku hadiahi dia dengan putaran bola mata. "Bapak selalu ambil paling ujung, padahal itu yang baru saya masukin setelah laundry. Ini saya sudah urutin berdasarkan yang paling jarang Bapak pakai ke yang paling sering. Ambil yang paling jarang. Saya bosen lihat batik yang itu-itu lagi."

"Kapan kamu ngaturnya?"

"Kemarin. Bapak kan meeting di luar seharian, saya punya waktu senggang buat beresin."

"Ada gunanya juga kamu."

Tanpa ada waktu yang terbuang percuma, aku membalas ucapan Harsa. "Pantes sejompo ini masih jomlo."

Ekata terbahak di sofa sedangkan bosku masih tidak mau kalah. "Berisik banget ini anak probation."

Aku sedikit menyesal menolak pekerjaan dari Kamal. Harusnya aku tidak perlu merasa tidak enak dengan bos yang sejenis ini yang aku tinggalkan. Sayangnya, lowongan itu sudah terisi.

"Nggak kreatif banget ejekannya," kesahku. Aku mengambil dokumenku di meja Harsa dan berbalik untuk pamitan, tapi yang aku dapati adalah sesuatu yang lebar dan berwarna cokelat dengan tinta hitam. Aku berkedip dua kali dan berteriak di kedipan ketiga.

Harsa terlonjak dan aku mengambil kesempatan ini untuk menjauhkan kulit itu dari ujung hidungku dengan mendorongnya kencang. Aku menutup mata dan menggunakan dokumenku untuk menutup wajah.

Ruangan itu sangat hening. Aku tidak tahan untuk tidak melihat apa yang terjadi. Dengan perlahan aku menyingkirkan dokumen dari wajah dan mengintip apa yang baru saja membuatku terkejut.

Rent a Date [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang