Question of the day: Aku mau bikin semacam daily chat Obyn dan Sasa, enakan post di twitter apa tiktok?
Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG & Twitter @akudadodado yaaw.
Thank you :)
🌟
"Byn ... Robyn. Bebek. Duckling."
Aku mengerjapkan mata berkali-kali setelah terlonjak mendengar namaku disebutkan. Bosku berdiri di depan mejaku dengan kemeja bergambar mug kopi berwarna hitam. Kali ini pilihan gambarnya sedikit lebih baik.
"Ya, Pak?"
"Telinga kamu cuma aksesoris, ya? Bisa-bisanya saya ngomong jelasin soal dokumen dari tadi tapi kamunya malah bengong." Dia menatapku dengan mata menyipit, "Atau ini siasat baru buat bikin saya kesal?"
"Energi saya nggak sebanyak itu buat bikin kesal Bapak setiap saat," balasku setelah memutar bola mata dan berbisik di pelan untuk telingaku sendiri, "Yang ada juga Bapak yang suka bikin saya kesal."
"Apa kamu bilang, Bek?"
Aku menggeleng cepat. "Pak, jangan panggil saya bebek kenapa, sih?"
Setelah insiden kepalanya merah, Harsa mulai memanggilku seenak udelnya sebagai pembalasan terutama saat kami sedang beradu mulut seperti sekarang.. Bebek dan duckling adalah yang paling sering aku dengar biarpun aku berkali-kali mengatakan tidak mau disamakan dengan hewan.
"You run your mouth like a duck and your legs are short. Fit you perfectly."
Aku terkesiap dan mengikuti Harsa yang sudah balik kembali ke ruangannya. "Saya tinggi buat rata-rata cewek Indonesia."
"Berapa tinggi kamu?" tanyanya tanpa berhenti berjalan.
Aku menjawab ini dengan bangga yang membalut setiap kata. "163 senti." Dibandingkan dengan teman-temanku yang biasanya tinggi badannya 150an senti, tinggiku jelas menonjol saat kami berkumpul.
Harsa tiba-tiba berhenti yang membuatku hampir menabraknya dan menoleh lalu mendengkus. "Kate." Kemudian lanjut berjalan sedangkan aku tidak dapat menutup rahangku yang terbuka lebar mendengar ejekannya.
Menarik napas menjadi jalan terakhir karena stepler bisa menjadi barang bukti jika aku lemparkan ke kepala Harsa. Lagi pula, aku belum riset bagaimana cara menghancurkan tubuh dengan larutan di dalam gentong yang akan aku bawa jika akal sehatku sudah sign out. Sebab kesabaranku sudah lebih dulu melakukannya. Tinggal menunggu kalap saja yang sign in.
"Kenapa sama dokumennya, Pak?"
"Saya minta adendum terbaru. File lampiran memonya masih pakai perjanjian adendum pertama. Seingat saya, saya pernah tanda tangan untuk adendum kedua buat life insurance perusahaan ini. Terus atur rapat sama tim terkait untuk perhitungan risk tahun depan di minggu ini."
"Tapi jadwal Bapak sudah penuh."
"Pulang kantor?"
Aku melotot. "Yang benar aja, Pak. Kasihan orang-orang."
"Kasihan orang-orang apa kasihan kamu?"
"Ya kan saya juga orang."
Aku menerima dokumen yang diserahkan Harsa dan membuat catatan dalam kepalaku.
"Kamu seharian ini lebih banyak diam. kamu lagi merencanakan sesuatu selain dengan garam dan cedera fisik, ya?"
Aku merengut dan duduk di seberang Harsa. Dia tidak akan melepaskan kesalahan kecil yang aku buat. Bahkan dahinya tidak berdarah, hanya merah saja. "Nggak kayak Bapak yang punya pekerjaan tetap, saya masih harus cari lowongan yang mau interviu sebelum atau setelah kerja karena saya nggak dikasih izin sama orang tertentu." Lirikku tajam kepada tersangka utama yang selalu memiliki berjuta alasan untuk tidak mengizinkanku saat ada panggilan kerja. Mau berbohong juga aku tidak bisa. Lusa adalah hari terakhirku di sini. Aku belum mendapatkan kabar dari HRD dan menjemput bola hanya membuatku takut. Jadi, aku berakhir menjadi pengecut yang menunggu kabar saja.
![](https://img.wattpad.com/cover/353204351-288-k877238.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rent a Date [FIN]
ChickLitTAMAT & PART LENGKAP May contain some mature convos and scenes Menurut perjanjian, Robyn hanya boleh berurusan sekali dengan kliennya. Itu idealnya, tapi hidup Robyn tidak pernah berjalan sesuai dengan rencana. Robyn justru kembali bertemu dengan H...