RaD Part 31 - 13.1 Ikat Pinggang

15.3K 1.8K 303
                                    



Question of the day: lebih suka update cerita di jam berapa?

vote, komen dan follow akun WP ini + IG & X & Tiktok @akudadodado.
Thank you :)
🌟

Malam ini malam kami terakhir di Italia. Besok malam kami akan naik pesawat untuk kembali ke Indonesia. Aku tidak bisa tidur karena belum mau pulang, tapi tidak mau juga kalau harus berbagi ranjang dengan Harsa lebih dari ini. Kepalaku sudah terlalu berantakan dan perasaanku berceceran tidak tentu arah semakin lama kami berada di posisi ini. Uang yang akan aku hasilnya menjadi satu-satunya pengingat kalau kami berada di posisi ini karena Harsa menyewa jasaku, bukannya karena dia mau aku ada di sini.

Aku tidur menyamping, menghadap danau. Aku bisa merasakan Harsa juga belum tidur karena napasnya yang belum teratur dan dia masih terus bergerak. Benar seperti kata-katanya kemarin, Harsa tidur seperti patung. Aku sendiri baru tidur setelah memastikan kalau bosku sudah terlelap duluan. Aku juga perlu jaga-jaga, tidak ingin ada sesuatu yang terjadi saat aku tidur, mau Harsa mengatakan tidak tertarik kepadaku pun, tetap saja aku harus waswas.

"Saya juga harusnya kasih rate karena semalam kamu tendangin saya selama tidur." Tiba-tiba saja Harsa bersuara dan membuatku menoleh. Dia tidur telentang dengan satu tangan di belakang kepala dan yang lainnya di atas perut.

Aku mendelik. "Enggak. Nggak mungkin. Saya baru pertama kali dengar kalau tidur saya lasak. Yang tidur sama saya nggak pernah bilang gitu."

Teman tidurku sejak kecil hanyalah Rowen. Kami berdua lebih mirip sedang berperang saat tidur, entah kakiku akan mengenai bagian tubuh Rowen yang mana atau sebaliknya. Tapi aku tidak mungkin memberikan jawaban itu kepada Harsa. Lebih baik aku ditendangi Rowen saat tidur dibanding mengatakannya.

Harsa menarik kaos yang dia kenakan hingga kulitnya terlihat. "Pinggang saya biru."

Benar saja, ada sedkit lebam di pinggangnya yang membuatku otomatis duduk di ranjang. Bokongku bergeser dari ujung ranjang tempatku menuju sisi Harsa. Ranjang ini berukuran king sehingga aku sedikit lega, tapi jika di ranjang yang besar ini bosku tetap lebam, selama ini berarti aku salah menilai kelasakanku saat tidur.

Mataku hampir menempel pada warna ungu di kulit cokelat itu saking tidak percayanya dengan penglihatanku. Berpikir. Berpikir. Aku menarik tubuhku menjauh dari Harsa. Menggali dalam otakku alasan apa yang dapat aku gunakan untuk keluar dari situasi ini. "Bapak kepentok kali waktu jalan. Jangan salahin saya, dong."

"Memangnya saya kamu yang kalau jalan semua benda ditabrak? Udah berapa kali kelingking kamu nabrak meja saya? Atau pinggang kamu nabrak meja kamu sendiri?"

Aku melipat bibirku ke dalam karena semua yang katakan benar. Kelingkingku adalah buktinya. Meskipun tidak sesering itu, tapi keseimbangan tubuh adalah hal lain yang perlu aku pelajari selain membungkam mulut dan Harsa dengan senang hati mengejekku dalam diamnya. Hanya gelengan kepala dan decakan yang dia pastikan aku dengar, juga dengan tatapan yang meragukan setiap hal yang aku lakukan.

Dia brutal dan kejam kepadaku, tapi lemah lembut kepada Rania. Hah. Bikin sebal saja.

"Enggak, ya. Nggak sering. Cuma beberapa kali aja. Kayak Bapak nggak pernah nabrak aja, sih."

"Saya nggak selebor kayak kamu. Kamu nggak sadar bangun-bangun kamu adanya di tengah kasur?"

Bola mataku membesar. Aku baru sadar kalau saat bangun tadi aku tidak lagi di ujung ranjang seperti saat aku tertidur. Harsa juga tidak ada di sana. Hanya aku yang terbangun di tengah ranjang dengan selimut dan tangan serta kaki yang terbentang seperti bintang laut. Aku bangun dengan santai sampai lupa keberadaan Harsa yang tidak ada di ranjang.

Rent a Date [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang