RaD Part 36 - 15.3 Perhatian Tpis-Tipis

14.3K 1.8K 412
                                    


Question of the day edisi Lebaran: udah dapet pertamyaan kapan kawin? Kapan lulus? Kapan punya anak? Dll nggak hari ini?

vote, komen dan follow akun WP ini + IG & X & Tiktok @akudadodado.
Thank you :)
🌟

Aku hanya berani menatap warna kuning yang berkelebat di sunroof. Langit berwarna hitam dengan sedikit gumpalan abu yang menutup bintang. Harsa tidak pernah menyalakan radio saat menyetir, jadi biasanya mobil hanya diisi oleh ocehan tidak jelasku dan Harsa yang memberikan tanggapan.

Mau aku memutar otak sampai jungkir balik pun, aku tidak menemukan ide untuk mengisi kecanggungan yang aku rasakan. Aku harus memberikan garis pada dua kata terakhir karena Harsa tetap saja santai seperti biasa.

Jantungku hampir naik ke kerongkongan saat lampu merah dan tangan kiri Harsa bergerak. Semua gerak yang bosku lakukan setelah tadi berhasil membuat jantungku kebat-kebit. Bahkan hal sesederhana menggaruk ujung hidungnya dengan jari telunjuk pun berhasil membuatku terkejut. Apalagi saat tangannya bergerak dan tiba-tiba saja meraih kantong cokelat dari jok belakang mobil lalu meletakkannya di pangkuanku.

"Salep buat jidat kamu," kata Harsa.

Jantungku sudah seperti genderang perang di dalam rongga dada. "Saya udah punya, Pak." Aku otomatis mengatakan ini.

"Kapan kamu belinya? Kamu semalam pulang juga langsung tidur palingan. Pagi-pagi ke kantor. Waktu istirahat kamu tidur di ruangan saya. Kamu terlalu segan buat minta tolong ke OB untuk ke apotek."

Harsa 100% benar dan aku benci kenapa perutku mendadak mulas karena perhatian yang dia berikan. Perlu digaris bawahi kalau Harsa mengatakannya dengan nada normal sehingga aku kesulitan menebak maknanya. Karena aku tidak ingin memperpanjang dan mendengar hal lain yang membuat jantungku jumpalitan, jadi aku menarik diri hanya mengatakan "Terima kasih, Pak."

Harsa menaikkan kedua alisnya. Dia tidak setuju dengan sesuatu. "You did that again."

Mulutku yang tanpa rem langsung menyanyikan lagi Britney Spears dengan suara cemprengku, "Oops, I did it again." Yang langsung mendapatkan cubitan di bibir bawah dari Harsa yang berefek pada suaraku mati di tenggorokan.

"Don't do that," katanya. Kali ini nada yang Harsa gunakan lebih lembut seolah dia tengah menegur bocah kecil yang kedapatan mencuri permen.

"Do what?" Sedangkan suaraku mirip seperti tikus yang mencicit. Gosh. This is embarasing.

"Jangan tiba-tiba ambil jarak sama saya lagi."

Harsa mengatakannya dengan tenang, sesekali melirikku sambil terus menyetir di jalanan yang lengang. Padahal yang dilakukannya bukan hanya membelah jalanan, tetapi juga tembok pertahanan yang aku bangun tinggi agar tidak jatuh hati kepada bosku sendiri. Dia menghancurkan segalanya, tapi hatiku malah membengkak seperti balon udara yang siap terbang.

Dasar hati murahan, ejek otakku yang diabaikan oleh hati. Sejujurnya, aku juga tidak acuh dengan apa pun yang dia katakan. Debaran di dadaku jauh lebih besar sehingga mengalahkan keributan si logika.

Aku menyerah mengabaikan hati dan mendengarkan kepalaku yang berniat untuk menyelamatkan karier jangka panjangku. Situasi kami tidak memungkinkan untuk dianggap biasa-biasa saja, jadi aku harus mengambil langkah tegas dan membuat garis untuk tahu di mana posisiku berada. "Pak, saya itu cewek, lho. Saya bisa aja baper kalau Bapak tiba-tiba perhatian dan baik kayak gini. Jangan-jangan sekretaris sebelum saya juga keluar karena baper. Saya itu masih perlu uang, Pak. Saya masih harus kerja buat list di CV, seenggaknya setahun lah. Masa nanti kalau interviu terus ditanya alasan saya keluar dari saya jawab karena baper sama bos sendiri. Sangat tidak profesional, terus saya nggak diterima kerja di mana pun." Kedua tanganku menutup pipi, horor mulai menghantui di kepala. "Terus saya nggak punya uang buat makan, terus saya nggak punya uang juga buat bayar kostan, jadi harus tidur di jalan. Mana tadi invois saya kurang besar." Kilatan apa yang aku bicarakan melintas di mata dan semuanya jadi semakin mengerikan.

"Enggak. Dia keluar karena mau program hamil."

"Sama Bapak?"

Harsa menggetok kepalaku pelan dengan buku jari telunjuknya. "Sama suaminya lah."

Tanganku berada di dada untuk menenangkan detak jantungku yang kelewat kencang karena sentuhan ringan itu. "Pak, skinshipnya kurangin. Perhatiannya juga. Ngomelnya tambahin aja, saya ikhlas tujuh turunan. Kita itu bukan di Varenna lagi, jadi mode pacar sewaannya udah dimatiin."

"Saya punya rate kalau kamu mau rikues. Saya kirimin invoisnya nanti."

Aku melotot. "Bapak! Saya mana sanggup bayar Bapak. Yang ada uang yang baru saya dapatin langsung ludes. Saya rakyat jelata."

"Kalau kere jangan kebanyakan rikues. Terima aja apa yang ada."

Aku menunjuk muka Harsa dengan girang. "Ini, Pak. Ini maksud saya. Omongan yang menghina dan ingetin saya betapa saya rakyat jelata begini yang dibanyakin."

Harsa ngedumel dan keluar dari mobil, berjalan hingga tiba di sisi pintuku dan membukanya.

"Lho? Ngapain turun?" tanyaku linglung.

"Udah sampai. Kamu mau saya bawa ke tempat saya memangnya?'

"Ha?" Kepalaku melongok ke belakang tubuh Harsa dan mengenali bangunan empat lantai dengan batu bata merah. Aku harus berkedip untuk memastikan mataku benar.

"Tidur sana, Bek. Kamu makin bawel dan ngaco gara-gara tabrakan kayaknya."

**

"Jadi ini Obynnya Sasa?"

Belum aku pilih dari linglungku semalam, pagi ini aku harus berhadapan dengan perempuan berambut merah api yang memegang kedua sikuku. Wajahnya penuh makeup meski tidak mencolok. Dia tersenyum lebar kepadaku sebelum menghambur untuk memeluk. "Ya ampun. Mami nggak percaya deh kalau dia bisa-bisanya nggak ngenalin kamu ke mami waktu nikahannya Rania, tapi malah bawa ke nikahan temennya di Varenna."

Beliau melepaskanku sehingga aku dapat melihatnya lebih jelas. Dia mirip ... Harsa? Terutama dengan pakaian berbagai macam motif yang ditabrak. Dia eksentrik seperti Harsa. Aku jadi tahu dia mendapatkan kemeja anehnya itu dari siapa.

"Mi, jangan ganggu Obyn pagi-pagi. Ini masih jam kerja juga." Aku tidak tahu kapan Harsa muncul dan berdiri di belakangku. Kedua tangannya berada di lengan atas dan menggeserku menjauhi maminya yang langsung mendengkus.

Maminya Harsa menepuk dada anaknya pelan. "Kalau kamu kenalin ke mami sebelum orang-orang ngomongin "Obynnya Sasa" mami nggak bakalan seheboh ini pagi-pagi. Bayangin, Mami harus dengar soal ini dari mamanya Rania. Mami udah tungguin dari setelah nikahan, tapi kok kamu nggak ngajak dia juga ke rumah, terpaksa mami datang ke sini."

Mendengar suara lift yang akan terbuka membuat Harsa mendorongku dan maminya memasuki ruangan dan menutup pintu.

Maminya Harsa langsung menarikku menuju sofa sedangkan aku hanya mampu melihat ke arah Harsa yang meringis dan menyuruhku mengikuti ibunya dengan dagu yang menunjuk ke sofa. Aku menggumamkan invois tanpa suara yang langsung diangguki oleh Harsa.

Sekarang aku bersiap untuk menghadapi apa pun dengan senyuman.

"Obynnya Sasa itu jadi bahan omongan rame banget, tapi mami nggak pernah lihat kamu langsung." Kalimat ini langsung mengudara bahkan sebelum bokongku mendarat di atas sofa.

"Bu—"

Maminya Harsa memotongku dengan decakan. "Mami."

25/12/23

Wkwkwkwkwk Obynnya Sasa

Hadiah Lebaran double update! Jangan lupa vomment di part sebelum ini yes. Sampai ketemu lagi!

 Sampai ketemu lagi!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rent a Date [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang