Question of the day: hewan bisa bicara apa bayi bisa bicara?
Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG & Twitter & Tiktok @akudadodado.
Thank you :)
🌟
"Sasa, dari skala satu sampai young billionaire with infinity budget, ini yang nikahan di angka yang mana? Kira-kira buat nikahannya habisin berapa ratus tahun aku kerja rodi?" Aku mengesah menatap dunia yang gemerlapan dari pojok ruang makan. "Aku terlalu jelata buat nikan ini. Aku ganti pertanyaan aja supaya nggak sakit hati; kira-kira yang pakai sweaterrajut cokelat itu di nilai berapa?" Aku menunjuk pada salah satu cowok tampan yang tadi mengajak ngobrol Harsa.
Rambutnya disisir klimis ke belakang, dia juga selalu melemparkan senyum, jika sedang tidak tertawa. Kesan pertama yang aku dapat adalah dia orang yang ramah. Terutama karena dia yang lebih dulu menyapa Harsa saat kami tiba di ruang yang sudah disulap menjadi area makan dengan banyak meja panjang. Langit-langitnya digambar serupa tanaman anggur yang menjalar dengan biru telur asin dan sedikit putih. Otomatis mengingatkanku akan langit saat matahari sedang bersinar cerah. Sedangkan sisi temboknya berwarna krem dengan french window berkusen putih di sepanjang tembok yang menghadap pada kemegahan Danau Como.
Rasanya setiap sisi ruangan di hotel ini kamu dapat memandang danau melalui jendela atau balkonnya jika kamu ingin memeragakan adegan Juliet yang memanggil Romeo. Bisa juga menyanyikan lagu Love Story dari Taylor Swift untuk diunggah ke media sosial.
Aku bisa memraktikkannya untuk dikirimkan kepada Rowen demi kepentingan media sosial. Ini akan menarik minat fandom Swifties, kan?
Panik harus berbagi ranjang dengan Harsa membuatku tidak dapat menikmati semua hal baru yang tidak pernah aku lihat. Salju di pegunungan Alpen, birunya Como serta langit di Italia, juga manusia tampan dan cantik yang ternyata ada di hotel yang sama denganku. Semuanya tampak terlalu menyilaukan, terutama dengan batu besar yang memantulkan cahaya saat terkena cahaya. Entah itu di telinga, leher, pergelangan tangan, pergelangan kaki, jari.
Aku menyikut Harsa yang tidak menjawab pertanyaanku. "Masih single kan dia? Aku nggak perlu nikahan di sini, biarpun kalau ditawarin nggak nolak, yang penting kaya tujuh tanjakan. Aku nggak mau turunan, nanti miskin soalnya."
"Duckling, aku masih jetlag buat pusingin omongan kamu."
Aku dan Harsa sepakat untuk menggunakan aku-kamu dan berlagak seperti pasangan yang kasmaran jika di depan orang lain. Tentu saja dengan fee yang akan aku tambahkan di akhir. Aku akan menjadi kaya raya sepulang dari sini dan tidak perlu lagi berkencan dengan cowok di akhir pekan untuk tambahan membayar kartu kredit.
Namun, mendengar kata aku dari Harsa membuat telingaku gatal. Ada sesuatu yang bergeser dari hubungan kami untuk sementara ini. Hanya selama empat malam kami di sini. Aku tidak sabar untuk segera berakhir.
Kursi di sekeliling kami masih kosong sehingga aku mengambil gambar lagi untuk meja kayu yang dilapisi taplak krem dengan vas yang berisikan bunga mawar merah. Ada delapan pasang kursi dengan peralatan makan lengkap di depannya.
Setiap sudut aku mengarahkan ponselku, semuanya instagramable. Aku memastikan tidak ada manusia yang terpotret. Terutama manusia yang tengah memijit pelipis di sebelahku. Turtleneck abu-abu yang menempel seperti kulit kedua di tubuhnya mencetak setiap lekuk otot di tangan dan punggung. Atau otot dadanya saat dia berdiri tegap.
Rambutnya juga tidak serapi seperti di kantor. Sedikit berantakan dengan beberapa helai nakal yang jatuh di dahinya. Sekarang dia tampak lebih muda ketimbang biasanya dengan pakaian kasual. Meski masih kekecilan untuk tubuh besarnya menurutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rent a Date [FIN]
ChickLitTAMAT & PART LENGKAP May contain some mature convos and scenes Menurut perjanjian, Robyn hanya boleh berurusan sekali dengan kliennya. Itu idealnya, tapi hidup Robyn tidak pernah berjalan sesuai dengan rencana. Robyn justru kembali bertemu dengan H...