Question of the day: belanja di toko apa online?
Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG & Twitter & Tiktok @akudadodado.
Thank you :)
🌟
"Bukan pacar," balasnya berusaha santai tapi gerak-geriknya jauh dari kata itu. Satu tangan Harsa ke belakang kursi, menyentuh belakang pahaku yang dilapisi legging tebal. Berbeda jauh dengan dia biasanya yang tidak pernah kontak fisik. Aku tidak buta untuk tahu kalau perubahan ini diakibatkan oleh pasangan yang baru saja datang.
Namun aku terlalu terkejut dengan sentuhan yang terlalu intim yang merusak sirkuit mulutku. Kepalaku kosong padahal biasanya ada banyak kata yang berdesakan di dalam sana dan meminta untuk dimuntahkan. Terutama jika menyangkut Harsa. Sekarang? Aku tidak punya satu kata pun untuk mengajukan protes atas tindakan Harsa dan tangan. Ini tindakan wajar untuk orang pacaran, aku juga tahu karena biarpun aku tidak pernah menginap dan tidak pernah melihat tubuh telanjang cowok secara langsung, aku juga memiliki beberapa mantan. Tapi Harsa bukan pacarku. Dia bosku yang sekarang sedang menyewa jasaku sebagai partner kencan.
Posisinya tidak bisa bergeser ke mana pun. Harus tetap di sana dan berjalan satu garis lurus. Tapi hatiku melakukan tindakan tidak senonoh dengan menggedor-gedor rongga dadaku hingga aku takut dapat didengar oleh Harsa.
"Lo ke sini bawa tukang urut pribadi sekalian?"
Aku tidak tahu itu adalah kalimat sapaan normal dan bermaksud untuk menggoda, tapi semua yang keluar dari mulut cowok ini malah terdengar seperti ejekan di telingaku. Aku tidak mengharapkan Harsa membelaku, tapi dia yang tidak mengatakan apa pun kenapa justru membuatku kesal. Yang menegur cowok itu justru istrinya dengan sikutan di pinggang.
Aku juga kesal dengan diriku sendiri karena berpikir kalau Harsa akan mengatakan sesuatu. Atau setidaknya memberikan pelototan seperti yang biasa dia berikan padaku jika aku sudah membuatnya kelewat kesal. Lalu apa yang dia lakukan sekarang? Dia bahkan tidak melirik cowok itu. Sekilas dia memang melirik ke arah mereka, tapi aku tahu arah matanya hanya ke cewek mungil itu.
Ada banyak hal yang menggangguku padahal baru tiga menir berlalu, tapi aku tidak bisa menentukan mana yang menjadi penyebab dadaku panas karena amarah. Tapi aku tidak bisa melakukan apa pun karena aku dibayar untuk diam dan tersenyum dan itu yang akan aku lakukan. Tidak peduli seberapa besar keinginanku menimpuk kepala dua cowok ini dengan vas.
Tanganku meninggalkan bahu Harsa dan bokongku kembali duduk di kursi yang bertuliskan namaku di atas serbet berwarna perak di atas piring.
Pasangan itu duduk di seberang kami.
Cwek itu menyelipkan rambut lurusnya yang berkilau ke belakang telinga. Dia tersenyum lebar kepadaku. "Kita sudah ketemu beberapa kali, tapi nggak pernah kenalan langsung, ya."
Aku hanya balas tersenyum, karena selain di tempat ini, aku hanya ingat pernah bertemu di kantor saat dia datang dua minggu yang lalu. Tapi aku tidak akan mengatakannya atas dasar sopan santun dan tidak mau membuat malu lawan bicaraku. "Aku Robyn."
"Kamu terkenal dan jadi bahan obrolan kalau lagi ada acara keluarga. Soalnya Sasa nggak pernah bawa pacarnya ke acara-acara."
Aku semakin melongo. Satu-satunya acara keluarga Harsa yang pernah aku datangi adalah pernikahan sepupunya. Aku mengedipkan mataku lima kali secara perlahan saat kepalaku memproses sesuatu dan menyatukan keping demi keping informasi dari beberapa bulan lalu hingga hari ini. Dari acara pernikahan, ucapan Ekata, hingga cewek itu yang mengatakan acara keluarga.
"Rania?" ucapku tidak yakin.
Rania menangkup pipinya dengan kedua tangan. "Beda banget sama waktu nikahan, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rent a Date [FIN]
ChickLitTAMAT & PART LENGKAP May contain some mature convos and scenes Menurut perjanjian, Robyn hanya boleh berurusan sekali dengan kliennya. Itu idealnya, tapi hidup Robyn tidak pernah berjalan sesuai dengan rencana. Robyn justru kembali bertemu dengan H...