"Dia hanya anak pengantar susu, Tuan." ucap Marta dengan menunduk.
"Oh." Bright hanya menanggapi Marta dengan singkat, lalu kemudian dia pergi melangkahkan kakinya menuju ke ruang perpustakaan yang ada di dalam mansion ini.
Saat Bright baru saja melangkah, suara Marta menghentikannya dan mengatakan seseuatu tentang gurunya.
"Tuan, guru anda tidak akan datang, kata tuan besar dia akan mencari guru lain untuk Tuan." Marta menyampaikan informasi dari Ayah Bright.
"Aku tidak peduli." ujar Bright yang kemudian pergi begitu saja untuk menyapa ibunya yang saat itu sepertinya baru saja turun dari kamarnya.
"Selamat pagi, Mama." sapa Bright tetapi orang yang dipanggil 'Mama' itu sama sekali tak menanggapinya.
Wanita glanor itu tak menghiraukan anaknya, dia bahkan hanya memandang jijik pada Bright yang tampan itu.
"Jangan rusak hariku dengan segala kesialan yang kau bawa!" ucapnya yang selalu saja membuat Bright merasakan sakit di dadanya.
Lalu kemudian wanita berambut blonde itu pergi dari sana.
Di kehidupan Bright yang hari-hari selalu suram kembali ia mulai dengan terpaksa.
Bright tak pernah mau pergi ke sekolah atau bahkan membuat hubungan pertemanan dengan siapapun di luar sana. Bright hanya belajar dengan seorang guru yang akan di sewa oleh Ayahnya dari pagi hingga sore, Bright akan menghabiskan waktunya di dalam perpustakaan dan membaca banyak buku tebal dengan beragam bahasa.
Saat Bright hanya fokus dengan sebuah buku tebal berbahasa Jepang dengan banyak sekali huruf kanji yang bertebaran, ponselnya berdering. Dan rupanya itu adalah telfon masuk dari Ayahnya.
"Halo, Ayah."
"Kau membuat gurumu mengundurkan diri lagi? Bright! Kau ini butuh seorang guru! Kau harus pintar! Aku tak mau tahu jika kali ini kau membuat gurumu kabur, maka aku akan benar-benar marah padamu dan aku tak akan pernah mempedulikan dirimu lagi!"
Bright hanya tersenyum dalam dunianya yang suran itu.'Bukankah kalian semua memang tak pernah peduli kepadaku, Aku anak kalian? Mama...Papa.' Batin Bright
"Tapi Ayah, Aku tak mau guru yang kokot dan renta mereka terlalu membosankan."
"Tak ada kata tapi. Nanti sore jam tiga akan ada guru baru untukmu! Maka dari itu aku membawakan guru yang paling tidak sebaya denganmu."
"Baiklah."
"Jangan buat gurumu kali ini lari ketakutan. Kau paham?" tanya ayah Bright yang mewanti-wanti anaknya.
"Iya, Ayah."
"Bagus."
Bright memasukkan ponselnya ke sakunya lagi setelah panggilan antara dia dengan Ayahnya terputus.
Bright mulai terduduk di sudut rak yang ada di perpustakaan ini. Ayahnya memang masih memperhatikan dia. Hanya pendidikan dan kesempurnaan yang sang Ayah inginkan dari Bright.
"Huh..." Bright menghela nafas.
Sebelumnya Bright memang memiliki banyak guru yang akan mengajarinya secara privat akan tetapi semua guru itu lari ketakutan dengan tingkah Bright yang bisa dibilang sangat abnormal.
Mereka semua para guru Bright hanya memandang anak itu sebagai monster yang menyeramkan.
Tak ada yang benar-benar menggap Bright sebagai seorang manusia, anak remaja yang butuh kasih sayang dan perhatian.
Akan tetapi, saat itu ada satu nama yang tiba-tiba muncul di dalam isi pikirannya.
"Meta." gumam Bright saat itu ia kembali mengingat acara bunuh dirinya yang gagal karena seorang pemuda baik hati yang lebih mudah darinya datang dan menyelamatkan dari kematian tak berguna.
Bright tersenyum saat memikirkan kembali tentang Win dan kebaikan pemuda itu.
"Meta sangat baik, aku ingin melihatnya lebih lama. Aku ingin bersamanya lebih lama."
Bright mengeluarkan pisau lipat di sakunya. Ia mulai menggoreskan benda tajam itu ke lengan kirinya.
Rasa sakit langsung menggerogoti lengannya, akan tetapi Bright sama sekali tak meringis ataupun menangis. Bright menyukai rasa sakit ini, dia suka menyakiti dirinya untuk menyalurkan beragam rasa yang terkadang tak bisa ia ungkapkan kepada siapapun.
"Meta, Aku ingin bertemu denganmu lagi, bisakah?" tanya Bright yang mulai mengumpulkan darahnya ke satu wadah.
Dengan darah itu ia kemudian juga mengambil sebuah kuas dan kertas yang terletak di sana.
"Aku masih mengingat wajah mu." gumam Bright dengan lincahnya menggoreskan kuas dan darah sebagai pewarna di kertasnya itu.
Bright memvisualisasikan wajah Win yang tersenyum cerah padanya.
Bright itu ahli melukis. Wajah Win yang ia gambar di atas kanvas dengan darahnya itu sangatlah indah dan sempurna. Bright melukiskan setiap detail yang ada di wajah Win yang masih membekas di dalam ingatannya.
"Meta, Aku sedang berfikir bagaimana caranya agar bisa bertemu denganmu lagi." ucapnya yang kini bahkan sedang mengajak bicara lukisan Win yang ia buat.
"Meta, Metawin..."
Bibir Bright terus mengucapkan nama Win, berbarengan dengan dia yang kembali menggores lengannya lebih dalam membuat darah-darahnya tercecer di lantai.
Bukan hanya satu lukisan dengan satu pose tetapi Bright mulai melukis Win dengan banyak gaya dan ekspresi. Ya.. waktu itu memang tak banyak ekspresi ataupun gaya yang Win buat tapi Bright itu pandai. Dia ahli dalam memvisualisasikan segalanya. Bahkan Bright juga membuat gambar berisi dirinya dan Win saling berpelukan.
"Lukisannya sangat indah Meta tapi aku yakin melihatmu secara langsung di dalam pelukanku akan jauh lebih indah... Meta aku tak sabar untuk bertemu denganmu lagi dan selamanya."
Di saat itu Bright kembali mengingat tentang guru yang akan Ayahnya sewa.
Buru-buru ia menghidupkan ponselnya dan mengirim sebuah pesan yang membuat senyum licik terbit di wajahnya.
'Ayah, aku ingin seorang guru dari SMA Thai, Seorang pemuda yang namanya Win Metawin.'
Beruntunglah Bright yang rupanya masih mengingat nama sekolah Win dari seragam yang sebelumnya Win pakai saat mereka pertama bertemu. Dan lagi, Bright juga bisa menyimpulkan jika Win bukanlah anak orang kaya, dia salah satu anak yang miskin dan juga Win itu terlihat seperti orang cerdas di sekolah. Itulah sebabnya Bright dengan otak cemerlangnya meminta sang Ayah untuk menjadikan Win sebagai guru barunya, tutor privat Bright.
"Maka dengan begitu aku akan selalu bisa melihat Meta setiap hari."
Bright mencium lukisan darah yang berisikan Win dengan hati yang menghangat.
"Meta..., Aku tak sabar untuk bertemu denganmu lagi." Bright adalah anak yang cerdas dia akan mendapatkan segalanya yang dia mau. Tak kecuali Win.
Dengan cara baik-baik ataupun dengan cara yang licik sekalipun.
Ponsel Bright kembali berdering. Sebuah pesan masuk yang datang dari nomor Ayahnya.
'Baiklah. Tapi ingat, jangan membuat guru barumu kali ini lari ketakutan.'
Senyum Brigt semakin lebar." Tentu, aku tak akan membuat Meta lari ketakuan, sebaliknya, aku akan membuat dia merasa nyaman ada di dekatku, Ayah."
Next