SHEZA | 26

34K 1.5K 499
                                    

26 : Accident

“Tidak semua hal yang dikatakan orang perlu dituruti, karena kamu berhak atas dirimu sendiri.”

— Sheza —

🦋🦋🦋

Ledakan besar terdengar menggelegar, orang-orang di sekitar tersentak kaget termasuk aku, semua langsung heboh mencari tahu di mana letak sumber suara. Sontak aku menoleh Julian dengan mata meremang.

Terlihat Julian mendapat telepon, dia mengangkatnya dengan volume yang sepertinya memang sengaja dispeaker. Dengan jelas aku mendengar perbincangan itu, perbincangan yang di mana orang di seberang telepon sana mengatakan pada Julian bahwa dia telah berhasil menjalankan tugasnya.

Begitu panggilan dimatikan, aku menatap Julian nanar. Sontak lari ke arah cowok itu, aku mencengkeram kerah bajunya dengan kuat.

"Berhasil apa? Kalian ngomongin apa?!" sentakku.

Memang, aku telah mengenal dengan baik bagaimana sifat gigih Julian, ia merupakan sosok yang sangat nekat dalam mencapai segala keinginannya. Tapi di luar kepala bahwa Julian juga bisa melakukan tindakan sekeji ini.

"Udah lo apain, Al?! Jawab, Lian!"

Aku menarik-narik kerah bajunya, tapi tidak ada perlawanan sama sekali dari Julian.

"Gue gamau kehilangan lo untuk kedua kalinya. Bakal gue singkirin siapapun yang berusaha ambil lo dari gue," ucapnya.

"Gak gini juga, anjing! Jangan jadiin gue sebagai alasan buat lo seenaknya mainin nyawa orang!" Aku sangat marah. "Cowok gila! Lo harus gue laporin ke Polisi!"

Aku lari masuk ke dalam tempat biliar itu lagi, berniat menemui petugas yang menjaga CCTV di tempat itu dengan diikuti Julian yang berjalan santai di belakangku. Tidak ada tanda-tanda panik sama sekali pada cowok itu.

"Lo gabakal nemuin apapun, percuma, mending sekarang ikut gue," kata Julian.

Aku tak menjawabnya, terus melangkah tergesa, bertanya pada siapapun yang kutemui mengenai di mana letak ruang CCTV. Sialnya satu pun dari mereka tidak ada yang mengetahui.

"Mereka mana ada yang tau, meskipun lo bisa nemuin ruang CCTV lo gabakal dapetin apa yang lo cari. Kamera basemen udah gue matiin."

Detak jantungku berpacu cepat, aku berbalik badan menampar Julian sangat kencang sampai wajahnya berpaling searah dengan ayunan tanganku barusan. Dia cengo, aku pun tertegun. Tak sedikit orang memperhatikan kami.

"Julian, lo breng-"

Cowok itu menutup bibirku, menggandengku pergi dari orang-orang yang mulai memperhatikan kami.

"Lepas, bangsat!"

"Lanjut di mobil, lo boleh lanjut tampar gue di sana. Gue gamau jadi tontonan," jawabnya.

Membukakan pintu untukku, dia juga masuk ke dalam mobilnya.

"Ini udah termasuk penghilangan barang bukti, lo udah ngelakuin tindak kriminal, Lian!" seruku dengan nada gemetar.

"Gue yang punya tempat ini, gue berhak matiin satu atau bahkan semua CCTV di gedung ini. Jadi gue ngelakuin kriminal dari segi apa?"

Fakta baru yang aku ketahui mengenai Julian bertambah, ternyata dia juga menjalankan tempat biliar. Bahkan setelah beberapa kali mampir ke tempat ini, aku tidak tahu siapa pemiliknya yang ternyata seorang Julian Alessandro.

Di situ aku tidak tahan untuk menangis.

"Tolong jangan sakitin orang-orang di sekitar gue. Lo bilang, lo cinta sama gue ... harusnya lo biarin gue bahagia. Sadari kalo kita udah jadi mantan. Apa yang lo harapin dari anak baru gede kayak gue? Tolong berenti buang-buang waktu lo, Julian, gue mohon," tuturku tersengguk-sengguk.

Julian menatapku lekat, matanya mulai berkaca dengan sudut bibir menurun.

"Enggak, gue gabisa liat lo nangis. Singkirin air mata itu dari wajah lo," ucapnya langsung mengusap-usap pipiku yang lembab.

"Lo yang udah buat gue nangis!" jeritku menyingkirkan tangan Julian.

"Makanya nurut!" balas bentak Julian sampai mataku mengerjap, aku terdiam seribu bahasa.

"Sorry, gue gak bermaksud," lanjutnya sambil mengacak rambut, kali ini dengan suara lembut.

Mood Julian yang cepat berubah entah mengapa sukses membuatku merinding. Cowok itu mendekatkan diri memelukku, sontak aku menangis histeris. Bukan karena luluh, namun karena menyesal sudah mengenal penjahat sepertinya.

"Kasih gue waktu 3 bulan buat bikin lo jatuh cinta," bisiknya terdengar dalam. "Kalo tetep gabisa, gue akan nyerah tanpa buat lo nangis lagi."

***

Menyorot lurus dengan tatapan kosong, aku memasuki halaman sambil menyeret langkah. Baru saja berdiri di ambang pintu, tubuhku langsung disambar pelukan dari Bunda, disusul Papa, Ryan, lalu Sean dan Sandra.

Pandanganku bertemu dengan mata Alvian yang tengah duduk di sofa dengan luka perban di dahi dan sikunya. Mata kanan cowok itu juga tampak sangat lebam berwarna ungu kemerahan.

Melepas pelukan Papa, Bunda, dan yang lain, aku langsung lari ke arah Alvian. Seorang Dokter yang biasa menangani keluargaku dan dua orang perawat menjauh dari Alvian, memberiku ruang menghampiri cowok itu.

Aku menangis sambil memeluk erat tubuh Alvian. Lalu dia mengerang sakit karena mungkin aku mengenai lukanya, sontak aku menjauh, berlutut di hadapannya sambil memegangi tangan cowok itu.

"Apa yang udah lo alamin? Sepanjang jalan gue khawatir sama lo! Gue samperin tempat kejadian, tapi cuma ada Polisi sama Damkar. Dan tiba-tiba Sean nelpon, ngabarin kalo lo udah pulang naik taksi dalam keadaan luka parah."

"Di basemen, waktu gue nungguin lo, ada mobil sengaja nabrak mobil gue. Pas gue kejar, rem gue gak berfungsi sama sekali. Karena jalanan rame, terpaksa gue banting stir dan berujung nabrak halte. Gue langsung ditolongin orang-orang sekitar, beberapa menit setelah keluar, mobil gue berasep dan meledak. Gue rasa ini bukan kecerobohan, tapi ada orang yang sengaja mau celakain gue."

Papa mengusap lenganku, menatap kami berdua bergantian. "Papa udah lapor Polisi buat nyelidikin siapa dalang dibalik kecelakaan Alvian. Kalian istirahat saja untuk menenangkan diri, yang penting sekarang kalian selamat."

Meneguk saliva dengan peluh keringat dingin membasahi kening, rasanya aku tidak nyaman. Sesuatu seperti menahanku agar tidak buka mulut mengatakan bahwa penyebab kecelakaan itu adalah Julian.

Menahan diri membuat dadaku kian sesak, aku memutuskan lari menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamar.

"Goblok, goblok, goblok!" teriakku dengan wajah terbenam di dalam bantal.

Sebenarnya apa, sih, yang aku mau?! Kenapa malah melindungi penjahat? Julian itu hampir membunuh Alvian, tapi kenapa aku tidak tega menyebutkan namanya sebagai seorang pelaku.

Mungkinkah aku sudah gila?

••••🦋••••

TBC

•••

FOLLOW IG:
@NoonaWii

SHEZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang