18 : Onar
“Ketika seseorang menolakmu secara terang-terangan, harusnya kamu mengerti bukannya makin tidak sadar diri."
— Sheza —
🦋🦋🦋
Tubuhku memergik ketika telingaku menangkap suara benturan keras, mengerjapkan mata beberapa kali untuk memperjelas pandangan yang semula buram, aku melihat Julian tengah mencengkeram jas putih milik lelaki yang bisa kupastikan bahwa dia seorang Dokter.
"Buat pacar saya sadar! Jika dia kenapa-napa, anda yang harus tanggung akibatnya!" ancam cowok itu.
Benar-benar sudah gila!
"Tenang dulu, Pak, pasien hanya mengalami cidera ringan di bagian leher. Dari pemeriksaan yang telah saya lakukan, itu tidak akan membahayakan kondisi pasien."
Mendengkus lemah, dengan susah payah aku beringsut duduk berpegangan tepi ranjang meski sambil menahan kepala yang terasa pening. Sebelum dua lelaki itu menyadari bahwa aku sudah sadar, akan jauh lebih baik jika aku pergi dari ruangan Rumah Sakit ini secepatnya.
"Ah!" pekikku nyeri.
Aku baru sadar bahwa di balik telapak tanganku tersambung selang infus, karena aku menariknya cukup kasar, jadi jarum yang tersambung di pembuluh darahku terlepas begitu saja.
Dua lelaki itu menoleh bersamaan, bergegas mereka menolongku. Melihat darah keluar deras dengan rasa nyeri yang luar biasa, tentu saja aku menangis. Sejujurnya aku bukan sosok yang cengeng, hanya saja rasa sakit ini mendorongku mengeluarkan air mata.
Julian menggunakan lengan jaketnya untuk mengusap wajahku yang sudah basah, dia peluk kepalaku saat Dokter sedang melilitkan kain kasa di tanganku yang bekas robeknya baru mendapat dua jahitan.
Setelahnya Dokter menjelaskan bahwa aku harus banyak istirahat, dan bisa pulang sekarang juga jika mau melihat keadaanku yang memang baik-baik saja. Lelaki itu keluar dari ruangan, meminta Julian segera menyusulnya untuk mencatatkan resep obat yang harus ditebus.
Plak!
Aku menampar Julian dengan kuat sedetik setelah pintu ditutup. Julian terpaku, tidak ada raut marah malah ekspresi sedih yang kudapati.
"Gue pantes dapet tamparan ini," katanya.
"Gimana sama Al? Lo apain dia? Sekarang Al di mana?!"
Iya, aku tidak marah lalu menamparnya karena dia telah membuatku pingsan. Tapi karena perbuatannya terhadap Alvian. Julian terkejut oleh pertanyaan bertubi-tubi itu, wajahnya berubah merah.
"Lo beneran cinta sama cowok brengsek itu?" tanya Julian.
Aku diam saja. Ingin menyangkal tapi ditahan rasa ragu.
Julian terkekeh kecil mengusap wajahnya seperti orang frutasi. "Gabisa lo liat gue?Cuma gara-gara sesuatu yang ngedorong lo berpikir buruk tentang gue, lo pikir gue pantes lo giniin?"
"GUE CINTA MATI SAMA LO, SHE!" teriak Julian di depan wajahku sampai mataku memejam rapat.
Saking terpancing emosi, Julian memukul meja di dekat ranjang sampai retak lantas memegang erat kedua pundakku dengan mata merah berkaca. Serius, dia sangat menakutkan sampai-sampai tanganku sedikit gemetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHEZA
Teen FictionSheza Alexio, merupakan gadis yang nyaris sempurna. Semua orang heran mengapa gadis yang hidup dengan penuh kehangatan sepertinya harus menjadi sosok perundung yang kasar dan begitu arogan. Namun, bukankah orang-orang hanya menilai dari yang terliha...