SHEZA | 41

26.7K 1.4K 130
                                    

41 : Perpustakaan

"Tidak semua marah harus dilampiaskan pada orang lain. Jika kamu sakit, jangan paksa orang lain ikut merasakannya juga."

- Sheza -

🦋🦋🦋

Duduk di kursi, aku menatap lurus ke arah papan tulis. Entahlah, hanya ingin melamun.

"She," panggil Inka.

"Hm?"

"PR mate-matika udah belom? Susah banget gue gabisa."

"Jam ke berapa?"

"Dua."

"Minta kerjain Diky aja."

Berdiri dari duduk, aku melemparkan buku milikku ke atas meja cowok bertubuh gempal itu.

"Kerjain dong."

Diky diam saja dengan ekspresi panik, matanya mencuri-curi pandang ke depan. Memicing curiga, aku menoleh ke belakang dan mendapati Sean memantauku dari pintu kelas. Pasti mau menjemput Sandra untuk ke kantin bareng.

Mendengkus sebal, aku ambil bukuku. Membawanya kembali ke meja.

"Nanti kabur ke rooftop aja biar gak kena hukuman," ucapku pada Inka dan Echa, hanya itu satu-satunya solusi yang ada di kepala saat ini.

"She," panggil Echa mengarahkan dagunya ke belakangku.

"Sini gue bantu kerjain," kata Alvian menawarkan diri.

Kini Alvian sudah berdiri di sampingku. Tak mau membuang kesempatan dengan sok jual mahal, kuberikan buku milikku kepada cowok itu.

"Makasih, ya?" tuturku. "Yok, guys, ke kantin!"

Seketika pergelanganku ditahan oleh Alvian. "Gue bantu kerjain sama gue kerjain itu dua kalimat berbeda."

"Terus?"

"Sini ikut gue ke perpus, kita kerjain di sana bareng-bareng. Lo berdua juga ikut, biar sekalian paham gimana cara ngerjainnya."

Aku menatap Inka dan Echa satu persatu, dua gadis itu membalas tatapanku dengan anggukan kecil yang dengan penuh pertimbangan akhirnya kami mengikuti Alvian.

Sumpah, perpustakaan adalah salah satu tempat paling membosankan menurutku. Kami duduk di salah satu meja di sana bersama anak-anak kutu buku lainnya.

"Yang mana soalnya?" tanya Alvian.

Echa menunjukkan PR kami pada cowok itu. Jumlahnya 10 soal, dan Alvian mulai menerangkan langkah-langkah mengerjakannya. Sungguh, penjelasannya sama sekali tidak bisa ditangkap oleh otakku.

Tapi Echa dan Inka memperhatikan Alvian dengan serius. Mereka ini beneran mengerti atau hanya pura-pura paham?

"Udah paham?" tanya Alvian.

Dua gadis itu kompak menggeleng yang seketika dapat memecahkan tawaku. Sontak hampir satu perpustakaan memusatkan pandangan mereka ke meja kami. Alvian menutup bibirku menggunakan jari telunjuknya lalu meminta maaf pada yang lain atas kegaduhan yang kuperbuat.

"Ih! Mereka gabakal berani juga kali negur gue," omelku menyingkirkan jari Alvian.

"Menghargai orang lain itu perlu, She," jawab Alvian. "Jadi bagian mana yang kalian gak ngerti?"

Inka menggaruk tengkuk. "Maaf, ya, Bang, tapi kita gak paham semuanya."

"Tinggal kerjain punya gue apa susahnya, sih, Al? Ntar mereka tinggal salin," sahutku.

SHEZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang