Kilas LXIII: "Sebuah Ramalan"

265 37 0
                                    

Sebenarnya Mark sama sekali tidak menyangka. Bahwa godaan secara terselubung yang tak sengaja melintas di kepalanya, lalu benar-benar ia wujudkan dalam sebuah tindakan. Berupa memakan sisa potongan manisan kulit semangka yang disodorkan Haechan kepadanya, akan menciptakan kecanggungan lumayan signifikan setelahnya.

Atau mungkin, canggung bukan kata yang terlalu tepat. Melainkan kegugupan lah yang agaknya lebih pantas menggambarkan kondisi Mark dan Haechan saat ini.

Meski Mark tak merasakan penolakan sama sekali dari Haechan, di kala inisiatif dalam dirinya yang terlalu natural untuk langsung kembali menggenggam tangan Haechan, seusai sahabatnya itu menyelesaikan urusannya membeli beberapa bungkus manisan kulit semangka sebagai oleh-oleh. Seraya menawarkan diri dengan lembut untuk membawa sekantung oleh-oleh manisan itu dengan sebelah tangannya yang terbebas, secara jujur Mark memang mengakui bila dirinya tidak memiliki tujuan apapun yang terlintas di kepalanya, ketika ia kembali menuntun Haechan untuk kembali melangkahkan kaki bersamanya.

Maka dari itu, menikmati suasana Festival di setiap langkah kaki tak tentu arah mereka, sepertinya hanyalah satu-satunya cara.

Selama terjebak dalam keheningan itulah. Mark yang entah bagaimana ceritanya turut tertular kegugupan Haechan pun, memilih untuk melemparkan pandangannya ke sisi sungai yang tampak ramai oleh kerumunan orang, dengan sebuah lentera berukuran sedang di tangan mereka masing-masing.

"Lentera?"

Secara tak sadar Mark yang melempar satu celetukan itu, justru malah membangkitkan rasa keingintahuannya untuk melanjutkan perkataannya, diiringi wajah yang telah tertoleh sepenuhnya pada Haechan yang masih menundukkan kepala.

"Kenapa orang-orang membawa lentera ke sungai?"

"O-Oh? Itu..."

Haechan sendiri, yang merasa bila pertanyaan Mark tersebut merupakan momen yang pas untuk menyudahi kegugupan ganjil di antara keduanya, lantas meneguhkan hatinya untuk balas memandang pada Mark seraya berkata.

"Sebenarnya itu merupakan inti dari diadakannya Festival ini," jelas Haechan. "Festival ungkapan rasa syukur rakyat Etruria pada para Dewa dan Dewi mereka, atas hasil panen yang berlimpah setiap tahunnya," lanjut Haechan sambil melirik ke arah kerumunan orang di pinggir sungai. "Festival Seribu Lentera Emas Menerpa Nirwana."

"Oh?" tanggap Mark sedikit takjub. "Nama yang unik dan cukup panjang juga," lanjutnya sambil kembali menoleh ke arah sungai. "Sepertinya aku jadi paham kenapa kau hanya menyebutnya Festival."

Masih dalam penyamarannya sebagai Donghyuck, kali ini Haechan tak kuasa menahan tawa gelinya.

"Percayalah, ada festival di belahan Bumi lainnya yang memiliki nama lebih unik dan lebih panjang dari itu," balas Haechan jenaka.

"Begitu?" balas Mark segera menanggapi, tanpa berniat mengulum senyum gelinya sama sekali. "Sepertinya kau lumayan banyak mengetahui tentang festival dari berbagai benua?"

"Terima kasih pada Ayahku karena sering mengirimku untuk mengantar pesanan tameng ke berbagai belahan dunia kalau begitu."

Kali ini Mark benar-benar tertawa.

"Tapi aku cukup penasaran," ungkap Mark lagi. "Kenapa lentera-lentera itu dihanyutkan ke sungai? Bukannya diterbangkan ke langit?" lanjutnya sedikit bingung. "Lalu bagian mananya yang bisa disebut 'Menerpa Nirwana' kalau seperti itu kan?"

"Nah, di situ bagian menariknya," balas Haechan. "Ada legenda yang pernah kudengar, kalau dari seribu lentera itu ada beberapa lentera yang terbang ke langit dengan sendirinya. Siapapun pemilik lentera itu, keinginan terbesarnya pasti terkabul."

SoulmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang