"Apanya yang sepadan?"
Biasanya.
Ketika seseorang tak terduga mendadak muncul di hadapan seseorang lainnya. Sebagian besar reaksi yang orang itu miliki akan menunjukkan keterkejutan, disertai pergerakan sedikit kaku untuk segera kembali ke posisi semula.
Namun entah mengapa. Semua itu tak berlaku bagi Pangeran Haechan yang kini justru terlihat sangat tenang, diiringi jemarinya yang seketika terkepal ringan, demi menutupi bercak darah yang masih tersisa di dalamnya.
Meski demikian, Haechan tentunya tak mengabaikan begitu saja sesosok tamu yang menyapanya secara tiba-tiba itu, dengan melempar senyum manis miliknya ketika berucap.
"Tentu saja waktu yang kuhabiskan untuk membaca buku ini, Yang Mulia Putra Mahkota."
Berbekal jemari yang entah bagaimana caranya telah bersih dari percikan darah dalam sekejab itu, Haechan lantas menutup buku di hadapannya dalam sekali gerakan, bertepatan dengan siluet gagah Putra Mahkota Hendery yang tampak berjalan semakin mendekat ke arahnya.
"Tidak seperti Pangeran Jeno, matahari mungilku ini adalah jenius jalanan*," ucap Hendery setibanya ia di hadapan Haechan. "Jadi untuk apa ka—"
Sama sekali tak sempat bagi Hendery untuk menyelesaikan perkataannya. Ketika retina matanya terlanjur terbelalak lebar tanpa mampu dicegah, diikuti tangannya yang terulur untuk meraih dagu Haechan begitu cepat, di saat dirinya menemukan setitik darah menghiasi sudut bibir sang adik bungsu.
Di sela-sela kernyitan keningnya itu, Haechan baru saja bermaksud menanyakan maksud tindakan Hendery, jika saja manik hazelnya tak terlebih dahulu melirik ke arah ibu jari Hendery yang terhiasi setitik darah setelah mengusap sudut bibirnya.
Ah, sial.
Sepertinya kali ini Haechan sedikit ceroboh, sehingga melupakan fakta bila sepercik darah tak mungkin hanya sempat menodai telapak tangannya.
"Ini?! Apa ya—"
"Jangan khawatir, Yang Mulia Putra Mahkota," potong Haechan dengan cepat seraya tersenyum canggung. "Aku hanya tidak sengaja menggigit lidahku saat memakan kue itu."
Secepat kilat Hendery langsung memfokuskan pandangannya pada arah yang ditunjuk oleh Haechan, hanya untuk benar-benar mendapati sepotong kue hitam berbentuk bunga yang telah tergigit setengahnya.
Dengan demikian, aura kemurkaan bercampur niat membunuh dalam diri Hendery lenyap dalam sekejab.
"Pangeran Haechan, kau benar-benar berhasil menakutiku," ucap Hendery dengan setengah tubuh bagian atasnya yang tampak terjatuh lemas di atas meja. "Aku bersungguh-sungguh akan membakar dapur istana jika ada orang yang berani mencoba meracunimu."
Seketika Haechan menepuk dahinya sangat pening.
"Jangan. Pokoknya jangan, Kak. Tidak dengan dapur istana," balas Haechan di sela-sela helaan napas pasrahnya. "Aku sangat menyukai kue buatan tangan koki kita, apalagi yang rasa kopi. Pokoknya jangan. Atau ruang kerja Kakak yang akan aku bakar."
Hendery tahu bila ucapan Haechan barusan mengandung sebuah ancaman serius. Namun karena Haechan mengucapkannya dengan nada sangat datar, Hendery justru tak sanggup menahan kekehan gelinya.
"Bakar saja," balas Hendery malah menantang, kini dengan dagunya yang telah bertumpu pada silangan kedua lengannya di permukaan meja. "Aku tinggal membangunnya lagi."
"Kakak sengaja ingin membuat Pangeran Jeno sekarat ya?" tuduh Haechan tanpa tedeng aling-aling. "Pembangunan kembali Pangkalan Militer kita saja sudah membuatnya bergadang setiap hari seperti mayat hidup, apalagi membenahi sistem otomasi* dan keamanan ruang kerja Kakak yang sangat ruwet itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Soulmate
Fanfiction"Kau... punya seribu alasan untuk meninggalkanku. Kenapa tetap bertahan?" "Tentu saja karena aku juga punya seribu alasan untuk tetap berada di sisimu. Kenapa aku harus meninggalkanmu?" *** Sebagai Pangeran Atlantis, Haechan sadar bila takdir sama s...