01 Namaku Bianglala

8.3K 268 116
                                    

Siang yang panas di stasiun Pasar Senen. Seorang cowok berdiri di dekat kereta ekonomi Jaka Tingkir. Dia sibuk bermain dengan kamera pocket-nya. Membidik objek-objek menarik yang ada di stasiun. Human interest, street photography, entah apalagi sebutannya. Itulah yang sedang dikerjakan cowok itu dengan kameranya. Itu juga alasannya memilih kereta ekonomi tujuan Jogja tersebut. Akan ada lebih banyak momen yang ditangkap kameranya.

Ada satu objek yang menarik perhatiannya sedari tadi. Seseorang lebih tepatnya. Cewek yang mengenakan bucket hat berwarna merah. Ekspresinya berubah-ubah sejak cewek itu duduk di kursi peron. Kadang manyun, kadang biasa saja, kadang pandangannya kosong dan menerawang.

Awalnya topi merah itu yang menarik perhatian, menjadi kontras dengan sekitarnya. Warna merah dan turunannya sering kali menjadi point of interest dalam komposisi sebuah foto. Cowok itu memotret cewek itu sembunyi-sembunyi. 

Selesai dengan pengamatannya, cowok itu masuk ke dalam gerbong 8 sesuai dengan tiketnya. Dia duduk membelakangi arah jalannya kereta. Pilihan yang salah, tapi gerbong itu cukup kosong, mungkin nanti dia bisa berpindah tempat duduk.

Untungnya dia tidak salah memilih sisi tempat duduk. Di sisi Timur saat ini, yang nantinya berada di sisi Utara saat melewati pantura. Dia akan aman dari terpaan cahaya matahari sore yang panas dan sedang berada di sisi Selatan.

Di kereta cowok itu tidak lagi membidikan kameranya. Dia sibuk melihat-lihat hasil jepretannya. Menunduk mengingat kembali memory yang direkam kamera tersebut. Sebuah keluarga beranggotakan seorang ayah dan tiga orang anak kecil. Dua orang perempuan paruh baya berlipstik tebal. Orang-orang yang berdesakan masuk kereta listrik. Dan tentu saja si cewek bertopi merah.

Saat sibuk dengan kameranya, sebuah suara gaduh menarik perhatiannya. Seorang cewek bertopi merah melewatinya. Tangan kirinya sempat berpegangan pada sandaran kursi di depan lelaki itu. Menunjukkan jam tangan yang juga berwarna merah. Ya cewek yang sama yang dia foto di peron tadi.

Cowok itu mengabaikannya. Dia memasang wireless headphone-nya, menyiapkan playlist untuk menemani perjalanannya yang panjang. Kursi yang tegak pasti akan membuatnya tersiksa selama 8 jam ke depan.

Kereta mulai berjalan setelah klakson panjang kereta. Cowok itu bersiap untuk memejamkan matanya. Tidur siang, idenya. Tapi tidak semudah itu, kursi yang tegak membuat tubuhnya tidak nyaman, untung saja AC-nya dingin. Sebuah pilihan aneh untuknya naik kereta ekonomi, tapi lagi-lagi, momen selama perjalanan itu yang dia cari. Dan itu selalu seru baginya.

Selang beberapa saat setelah stasiun Cikarang, cowok itu memastikan tidak ada yang menggunakan kursi di hadapannya, dia berpindah tempat duduknya, menghadap arah laju kereta. Lalu dia melanjutkan usaha untuk tidur siang. Volume musik di headphone-nya dia setel pelan saja. Dia tidak suka suara yang hingar bingar.

"Ayah! Tolong hargai keputusan Lala!" sebuah suara perempuan yang cukup keras memaksa mata lelaki itu melek.

Lelaki itu mengetahui arah datangnya suara dari cewek bertopi merah yang tampak pucuknya diatas sandaran kursi tegak kereta ekonomi itu.

"Ayah... tolong... Lala nggak mau berdebat lagi. Kalau ayah memang sayang Lala, beritahu Lala alamat lengkap di Temanggung, atau informasi apapun yang Ayah tau," ucap cewek itu lagi. Kalimatnya cukup panjang dan terdengar sedikit bergetar. Berisik.

"Ayah, please, Lala sayang ayah, tapi tolong kali ini saja. Hargai keputusan Lala,"

Temanggung, sebuah nama daerah di Jawa Tengah. Cowok itu sedikit menaruh perhatian karena sebenarnya daerah itu menjadi tujuannya itu juga. Namun selintas lalu dia mengabaikannya lagi. Ah, hanya orang yang memang lebih menonjol dan mencuri perhatian dari orang lainnya di ruang publik. Seperti yang biasanya sering ia alami. Cowok itu pun melanjutkan upaya tidur siangnya yang sangat sukar.

Warna Bianglala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang