50 Ajeng Arjuna

1.4K 225 301
                                    

Jakarta seharian mendung, tapi tidak hujan. Sumuk sekali. Lala sedang berbincang dengan Sasya di toko tas milik Desy. Dia datang naik ojek online tadi. Lala dan Sasya diserahi tanggung jawab untuk mengurus launching brand baru Desy, iya Luna. Lala berkoordinasi dengan Sasya mengenai konsep acaranya. Belum ada titik temu, masih butuh beberapa kesepakatan, masih brainstorming dan mendengar respon Desy.

Lala tetap tinggal di toko itu meski urusannya dengan Sasya sudah selesai. Dony, kekasihnya, berjanji mau mengantar Lala ke sebuah agen bus, sekaligus untuk menjemput saudara Lala dari Temanggung. Iya, Nana.

Sedari pagi Lala sudah berbalas pesan dengan Nana perihal keberangkatannya. Dia naik bus Safari Dharma Raya. Keberangkatan pagi membuatnya mesti turun di Pondok Pinang. Sebenarnya Lala masih ragu dengan respon ayahnya yang masih masygul perkara kehadiran Nana. Tapi Lala, atas dukungan kekasihnya, berkeras hati ingin mempertemukan Nana dengan ayahnya.

Dony datang pukul 16.00, bersama Nyoman. Mereka baru mengurus persiapan project baru. Tak lama mereka langsung berangkat ke Pondok Pinang. Dony duduk di belakang kemudi. Nyoman yang kurang kerjaan akhirnya ikut mereka menjemput Nana. Dia duduk di sebelah Dony. Lala duduk di seat belakang. Pandangannya keluar jendela, menerawang.

"La, kenapa?" tanya Dony, matanya tampak di spion tengah mobil.

Lala melihat kaca spion itu. Dony juga, menampakkan sepotong wajah Lala, bagian mata juga. Lala menggeleng.

"Kepikiran?"

"Iya lah, Mas... Kamu sih pake ngobrol kek gitu ke ayah," Lala tiba-tiba menyalahkan Dony.

Sejak Dony 'menceramahi' Harwan waktu itu, Harwan terus menghindar dari Lala. Mereka tidak bertengkar. Semua berjalan seperti biasa. Tapi suasananya sangat ketara kalau mereka saling memendam sesuatu. Sayang ruang bicara tidak tercipta di antara mereka.

"La, aku kan cuma mencoba membantu ngobrol sama Ayah Kamu. Mungkin ceritaku bisa kasih perspektif lain, siapa tau bisa bikin ayah berubah pikiran," ucap Dony beralasan.

Nyoman hanya diam menyimak. Dia bingung dengan obrolan Dony dan Lala. Dia sudah tau cerita mereka, tapi hanya sepotong saja. Sedang apa yang mereka bahas saat ini, Nyoman belum tahu sama sekali.

"Kalau ayah marah gimana?" ucap Lala lirih, tapi Dony bisa mendengarnya.

"Kita jalani apa yang ada di depan kita dulu ya, La. Soal itu kita pikirkan nanti kalau benar itu yang terjadi," begitu usul Dony. 'We cross that bridge when we get there', kalimat yang sering disebut Dony kalau Lala sudah overthinking. Iya, masalah itu dihadapi kalau sudah di depan mata, kalau belum tidak perlu berandai-andai.

"Gimana si ceritanya?" Nyoman akhirnya bertanya. Dari tadi dia bingung tidak paham.

Dony akhirnya bercerita pada Nyoman duduk perkaranya. Lala terdiam memandang jendela. Sambil bercerita Dony mengamati wajah kekasihnya di spion tengah mobil. Ditekuk, wajah Lala. Bahkan sampai mereka tiba di tempat menjemput Nana.

"La, senyum dong. Kan mau ketemu adikmu," ujar Dony saat ceritanya pada Nyoman sudah selesai. Lala melirik Dony, senyum tergaris tipis di bibir Lala.

Mereka turun dari mobil. Berdiri menunggu. Dua cowok yang bersama Lala sudah menyalakan rokok. Menghisapnya untuk menemani waktu menunggu. Lala sibuk dengan hp-nya, Berkomunikasi dengan Nana.

Banyak orang di agen itu. Ada orang yang menunggu jemputan, ada yang menunggu keberangkatan. Ah, ditempat-tempat seperti itu pemandangan yang ada berupa pertemuan dan perpisahan. Seperti Lala yang sedang menunggu pertemuan dengan adiknya.

Sebuah bus besar datang. Tiga orang itu langsung mencari-cari keberadaan Nana. Rupanya dia penumpang terakhir yang turun dari bus. Nana turun menenteng kotak karton bergambar salah satu merek mie goreng. Nana meletakkan karton itu setelah dekat dengan Lala. Lala langsung memeluk Nana, erat!

Warna Bianglala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang