Warna Bianglala [END]

40 Jaim Dikit

__________

"Kemaren pulang pagi dianter mobil gede, mewah. Gadun-nya kali ye?" ujar suara seorang perempuan.

"Ame yang biasa naik motor itu bukan?" suara perempuan lain menimpali.

"Kagak ngarti." ucap perempuan yang berbeda lagi.

"Nyang itu juga kemaren naik mobil, parkir di depan, bagus mobilnya, mulus, nyamuk kepleset tu kalao menclok." kali ini suara perempuan kedua yang berbagi informasi.

"Udeh jadi ani-ani tu bocah." simpul suara perempuan pertama.

"Sering nongkrong ampe malem di rumahnya juga." suara perempuan ketiga mengimbuhi.

"Bokapnya kagak marah?" tanya suara yang lain lagi.

"Gitu kalau kurang didikan emak, kite kagak tau emaknya siape," perempuan yang pertama bersuara yang menjawab.

Lala terdiam mendengar percakapan beberapa perempuan di dalam warung Bu Dar. Dia tau, dialah object obrolan ibu-ibu itu. Ah, warung memang jadi tempat strategis untuk berbagi informasi. Selain solusi dari pada susah masak pagi-pagi.

Lala tidak kuat mendengar lebih banyak, dia tidak jadi membeli sarapan di warung itu. Pulang menahan emosi yang tidak karuan. Dia baru tahu kalau jadi bahan gosip tetangga.

Beberapa waktu terakhir dia memang sering diantar jemput oleh Dony. Kecuali saat pertemuan terakhirnya di apartemen cowok itu. Lala menolak untuk diantar lagi. Dia sadar itu akan memberi ruang untuk cowok itu mencoba mendekatinya. Dan sangat mungkin untuk membuat bentengnya rapuh. Dia tidak mau.

Lala pulang penuh air mata. Ayahnya yang sedang melukis menghentikan aktivitasnya.

"Kenapa La?" tanya Harwan.

Lala tidak menjawab, dadanya dibuat sesak oleh kalimat-kalimat para perempuan di warung Bu Dar.

"La?"

Lala hanya diam. Menghapus sisa air matanya. Nafasnya tersengal.

"Kamu kenapa?" Harwan kebingungan. Dia mengarahkan Lala untuk duduk di kursi panjang, kemudian dia duduk di sebelahnya.