36

1.7K 200 246
                                    


Menjelang siang Lala sedang membuka sekotak paket berisi bolu cukil dari ibunya yang baru diambilnya. 3 hari yang lalu ada yang memesannya. Luna. Kakak Dony itu menghubungi Lala sehari setelah pertemuan pertamanya. Katanya suka dengan bolu cukil yang Lala beri. Teman-temannya juga, jadilah Luna pesan bolu cukil pada Lala.

Paket itu dikirim lewat travel, lebih cepat, sehari sampai. Lebih mahal, tapi toh si pembeli mau saja membayarnya. Meskipun lala mesti lebih ribet untuk mengambil dan mengantar paket itu. Lala mengambil beberapa bungkus untuk ayahnya, begitu pesan ibunya.

Lala sempat kesal karena mau tidak mau jadi berurusan dengan orang dekat Dony, cowok yang ingin Lala hindari sejauh-jauhnya. Tapi ini peluang untuk usaha ibunya bukan? Merambah pasar Ibu kota, pikir Lala. Dikuatkan hatinya demi usaha ibunya. Lala cukup percaya diri dengan benteng yang sudah dibangunnya. Toh dia ketemu Luna, bukan adiknya.

Cowok badak itu? Sejak pertemuan terakhir mereka, tidak ada komunikasi dengan Lala. Sama sekali. Bagus untuk Lala, untuk hatinya. Urusannya sekarang hanya dengan Luna. Sudah.

Lala   : Kak, ini kue bolu cukilnya sudah datang
Lala   : Mau diantar ke mana ya, Kak?
Luna : Oh, antar ke Rumah Sakit Harapan bisa, La?
Luna : QVH7+PX Kp. Melayu, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Lala  : Oke, Kak nanti diantar
Luna : gosend aja La
Lala : Nanti saya antar aja Kak, mau nitip sekalian
Luna : Ok

Ya, sore itu Lala berencana sekalian menitipkan sesuatu untuk Dony. Lala menyiapkan barang titipannya. Perempuan itu membuka jurnalnya, mengecek catatan disana. Menyalinnya di selembar kertas yang disobek dari jurnal itu. Catatan selama Lala di Temanggung.

Lala berpamitan pada ayahnya, pergi membawa paketan sebesar kotak karton dari air mineral ukuran botol. Ayahnya hanya menanggapi singkat. Harwan dan Lala belum berbicara banyak sejak pagi itu. Harwan selalu menghindar. Saat Lala berpamitan, ayahnya sedang memegang bungkusan bolu cukil yang sudah terbuka, mengunyahnya pelan, wajahnya datar, tapi tidak bisa menghapus wajahnya yang bersemu merah. Ketika anaknya melihatnya, Harwan salah tingkah.

Harwan sering bervideo call dengan Wati. Lala tak kalah sering video call dengan Nana, juga Asih tentunya, tapi tetap. Baik ayah Lala maupun Ibunya, saling menghindar ketika kesempatan untuk saling menyapa itu ada. Orang tua yang aneh, kelakuannya sama-sama ajaib.

__________

"Makasih La, enak banget kuenya!" ujar Luna ketika mereka bertemu di lobby rumah sakit tempat Luna bekerja, seperti kesepakatannya.

"Makasih juga Kak udah mau ngeborong gini."

"Ini ga cuma gue, tapi temen-temen juga pada suka,"

Lala tersenyum menanggapinya. Kemudian ia mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat dari pouch berwarna merah di tote bag warna merahnya. Amplop yang sedikit tebal. Lala memberikan amplop itu ke Luna.

"Kak, gue nitip ini ya," ujar Lala.

"Eh?"

"Buat Mas Dony."

"Apa ini La? Lo nggak mau ngasih langsung, dia di sini juga," ucap Luna.

"Ehm..." Lala menimbang. Dony kerja disini juga? Ketemu lagi dengan cowok itu bukan pilihan yang tepat. Lala ingin menghindari cowok itu jauh-jauh bukan? Jangan nyari perkara, La! batinnya sendiri.

"Abis balik bareng Lo kemarin dia demam parah, malamnya kita bawa ke kesini," cerita Luna.

"Mas Dony sakit?" tanya Lala, dia mengingat kening cowok itu yang panas saat di Jogja.

"Iya, cowok lemah," ucap Luna mengejek adiknya yang tidak ada disana.

"Sakit apa, Kak?" tanya Lala, penasaran juga.

Warna Bianglala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang