"Sore, Om. Lala ada?"
Pria berbadan besar yang mengenakan baju tanpa lengan itu memandang Dony. Harwan heran. Cowok yang datang bersama Lala di pagi buta sepulang Lala dari Temanggung. Untuk apa cowok itu datang. Kata Lala dia hanya teman. Ehm, teman boleh berkunjung memang.
Dony menunggu jawaban pertanyaannya. Tidak kujung dijawab, malah tatapan tajam Harwan yang mengintimidasinya.
"Lala sedang pergi, ada perlu apa?" ucap Harwan berharap cowok itu lekas pergi.
"Kemana ya, Om?" tanya Dony lagi. Lanjutnya menjawab, "Ehm, ada yang perlu saya bicarakan dengan Lala."
"Punya nomornya? Tanya saja sendiri," jawab Harwan, biar Lala yang memutuskan mau tidaknya bertemu dengan cowok itu, pikrinya.
"Ehm... Saya boleh tunggu disini, Om?" tanya Dony, tidak menjawab pertanyaan juga pernyataan Harwan. Dony tau kalau dia menghubungi Lala pasti cewek itu akan menghindar.
Harwan memandang lekat cowok itu. Pria paruh baya itu melihat sedikit kesungguhan pada cowok itu, tidak gentar dengan intimidasi yang ia berikan. Dia seperti membayangkan sesuatu. Harwan hanya mengangguk, tapi tidak mempersilahkan masuk. Meninggalkan cowok itu tetap di luar. Sedangkan dia sendiri masuk.
Harwan tadi sedang melukis saat cowok itu datang. Dia kembali lagi ke lukisannya, memegang palet yang sudah berisi berbagai warna. Ada warna dasar, ada warna yang sudah tercampur. Tangan kanannya mengambil kuas dari wadahnya. Memandang lukisan perempuan berkebaya yang sedang digarapnya.
Harwan sedang memberikan detail motif batik pada kain jarik yang dikenakan perempuan yang berwarna coklat soga. Harwan menghindari penggunaan warna yang sudah jadi. Dia memilih mencampurkan cat warna merah, kuning dan sedikit biru. Butuh konsentrasi untuk dapat warna yang sesuai. Tapi konsentrasi pria itu sedikit kacau dengan hadirnya cowok yang sedang menunggu di depan rumahnya.
Harwan memandang lagi lukisan perempuan itu. Terbayang bagaimana dulu ketika ia berusaha datang ke rumah Asih dan selalu berakhir dengan pengusiran. Setiap kedatangannya sering kali berbuntut hukuman kurungan untuk Asih, maksudnya Asih dilarang keluar rumah. Itu dulu.
Tapi akhirnya Asih nekat untuk tetap bertemu dengan Harwan. Bahkan nekat untuk menikah dengannya meskipun Asih dilarang oleh ayahnya. Harwan teringat kenekatan Asih. Juga kenekatan anaknya. Matanya menerawang. Dia berada di posisi ayah Asih dulu.
Hari sudah cukup sore. Harwan melihat bayangan Dony dari gorden kain blacu yang menerawang. Cowok itu masih di sana, masih menunggu. Cowok itu duduk bersandar pada jendela kaca. Harwan meletakkan kuasnya kembali ke wadahnya. Meletakkan palet warna di meja kecil. Kemudian keluar.
"Masih mau menunggu?" tanya Harwan ketus.
"Eh, iya, Om," jawab Dony singkat.
Harwan masuk lagi ke dalam rumah. Mengambil sesuatu dari nakas di dekat easel lukisnya. Lalu keluar lagi.
"Bisa main catur?" tanya Harwan.
Dony bingung. Apakah ini ujian?
"Ehm, sekedar main saya bisa, Om," jawab Dony sedikit tergagap.
Harwan duduk bersila di depan Dony. Membuka kotak catur, mengeluarkan bidaknya.
'Serius?' Dony membatin, deg-degan hatinya. Dari dekat, Dony bisa melihat gambar tato mawar yang berubah menjadi kubis. Dony menahan tawa dalam hati di sela kegugupannya.
Dony membenarkan posisi duduknya, bersila juga. Lalu menata bidak catur pada posisi yang semestinya. Harwan menata bidak berwarna hitam, Dony putih. Semua sama, posisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Bianglala [END]
OverigSebuah daerah di tengah Jawa Tengah, menarik perhatian Dony untuk datang mengunjunginya. Dony, seorang fotografer dari ibukota yang menyukai warna masa lalu. Daerah ini memiliki jejak cerita masa lampau yang panjang dan memukau. Jejak warnanya akan...