Pagi-pagi sekali Lala baru selesai mencuci dan menjemur sebagian pakaiannya. Dia mencuci jaket jeansnya. Satu-satunya jaket yang ia bawa. Dengan mencuci lebih pagi dia berharap si jaket mendapat matahari lebih banyak, jadi kering dan tidak apek. Smoga saja tidak hujan. Sudah hujan tadi malam, pikirnya. Iya, hujan deras menemani hujan di pipinya.
Dia juga sudah mandi, sekalian basah pikirnya. Ini mandi terpaginya selama tinggal di Temanggung. Biasanya dia mandi terakhir setelah semua penghuni rumah itu sudah mandi. Biar segar, matanya kelewat sembab karena menangis dalam diam. Harapannya buntu. Entah kemana lagi dia harus mencari ibunya.
Lala sedang duduk di bangku kecil depan tungku. Rani sedang sarapan, pakaiannya sudah rapi, mau berangkat kerja.
"Mbak Lala, Mbak baik-baik saja kan?" tanya Rani.
Lala memaksakan senyum. Tentu saja tidak baik-baik saja. Tapi dia bisa apa?
"Yang sabar ya mbak, semoga ada jalan," ujar Rani. Dia baru menyelesaikan makannya. Sedang minum teh hangat buatan ibunya.
Entah jalan mana yang harus Lala tempuh saat ini. Bahkan cewek itu sudah mulai memikirkan untuk kembali ke Jakarta. Menemani ayahnya atau mencari kemungkinan pekerjaan baru. Mencari jalan hidupnya. Melepaskan keinginannya mencari ibunya.
Tapi rencana apapun di otaknya seperti tidak mendapat titik temu. Sebutan anak haram dengan kasar dari Bude-nya sendiri masih membuatnya kalut. Remuk. Meski Buliknya sudah memberi penjelasan. Mungkin karena harapannya menemui kebuntuan.
Rani tiba-tiba terhenyak dari duduknya, dia mendengar suara motor vespa yang dikenalnya. Gadis manis itu langsung keluar rumah lewat pintu samping.
"Mas Eko, kita ga janjian berangkat bareng kan, Mas?" tanya Rani tersenyum sumringah, seperti mendapat kejutan.
"Eh, Ran... enggak. Aku meh ketemu Mbak Lala, ada?" tanya Eko.
Rani menarik senyumnya. Air mukanya berubah. Dia kembali masuk ke dapur.
"Mbak, dicari Mas Eko," ucap Rani pelan.
Lala bingung, dia juga tidak ada janji dengan Mas Eko hari ini. Lala keluar menemui pemuda desa itu.
"Mbak Lala, saya dapat info mengenai Ibu Mbak Lala, tapi di Temanggung. Hari ini saya ada rapat guru-guru di kabupaten. Kalau mau bisa sekalian," ujar Eko memberi tawaran.
"Eh, tapi saya belum siap, Mas,"
"Cepet siap-siap Mbak, saya rapat pagi soalnya,"
"Eh, iya..."
Lala bergegas menyiapkan diri. Harapan kecil datang lagi. Setelah bersiap dengan setelan sederhana dan sebuah tote bag warna merah yang ia bawa di kantung tasnya. Kemudian Lala lekas berpamitan dengan Wati, Warno dan juga Rani.
Lala berlari kecil menuju Eko yang sudah siap di atas vespanya. Supaya Eko tidak menunggu lebih lama. Pemuda desa itu memberikan helm untuk dikenakan Lala. Lala tersenyum menerimanya. Bersyukur ada orang-orang yang murah hati membantunya. Apakah ini jalan semesta?
"Rani, tak pergi dulu ya," ujar Eko berpamitan pada Rani yang berdiri di pintu samping rumahnya.
Gadis manis itu tidak menyahut. Eko dan Lala berlalu begitu saja.
Motor vespa itu melaju pelan, tidak terlalu ngebut. Sepanjang jalan desa, banyak orang yang menyapa Eko. Seorang pemuda yang dihormati di desanya. Lala hanya ikut membagikan senyum. Tidak jarang orang-orang yang menyapa Eko langsung terlihat ngobrol sambil melihat mereka. Bergosip? Entah.
"Mas, maaf ya saya ngerepotin terus," ucap Lala dari balik punggung si pemuda desa.
"Nggak papa, Mbak. Wong saya juga sekalian ke Temanggung,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Bianglala [END]
RandomSebuah daerah di tengah Jawa Tengah, menarik perhatian Dony untuk datang mengunjunginya. Dony, seorang fotografer dari ibukota yang menyukai warna masa lalu. Daerah ini memiliki jejak cerita masa lampau yang panjang dan memukau. Jejak warnanya akan...