28 Pukul 10.00

1.7K 194 285
                                    

Sepagian itu Lala kikuk karena menahan malu. Dia terus di kamar untuk mandi dan bersiap. Terus di kamar karena malu semalam ditambah drama tadi pagi benar-benar membuatnya malu. Apalagi pertanyaan Dony terakhir, sungguh Lala dibuat malu karenanya.

Dony begitu baik padanya. Bagaimana mungkin dia tidak tertarik? Selalu hadir, seperti ksatria berkuda hitam yang selalu ada di saat-saat ia membutuhkan.

Lala menghela nafas. Lemah sekali hatinya. Padahal dia belum tau Dony seperti apa sesungguhnya. Seminggu bersama tidak menjamin apapun bukan? Iya, dia tahu cowok itu baik. Tapi hanya karena mereka berdua. Coba saja kalau cowok itu di antara kawanannya atau keluarganya, juga masa lalunya, belum tentu baik. Lala terjebak dalam pikirannya sendiri. Padahal itu semua belum terjadi. Seperti mendahului semesta saja.

Lala akhirnya keluar karena Dony mengetuk pintu kamarnya berkali-kali. Sarapan katanya. Dony sudah memesan nasi goreng. Makanan itu diantarkan ke villa. Mereka duduk bersama di sofa depan kamar, berhadapan. Lala terus menundukkan wajahnya. Masih kehilangan muka. Singa betina itu sudah seperti anak kucing, hanya menurut saja. Tidak ada kebawelan suaranya pagi itu.

Sementara Dony tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Pipinya sampai pegal karena bibirnya terus-terusan ingin menarik ke atas. Lucu sekali melihat tingkah Lala yang malu-malu. Dony juga tidak banyak bercakap. Dia menikmati moment itu. Dia tidak mau membuat Lala yang sedang lucu-lucunya malah ingin pergi lagi.

Pukul 09.30 mereka beranjak dari villa. Seperti rencana, mereka akan ke toko roti hari itu. Menunggu harapan dari Ibu Lala. Dony berjalan duluan, mau manasin mobil dan memasukkan tas pakaiannya dan tas ransel Lala dulu katanya. Mungkin biar Lala juga tidak kabur. Lala melangkah pelan menenteng tote bag merahnya, mengenakan bucket hat warna merah juga. Dia cukup bersyukur karena cowok itu tidak membahas banyak. Jadi dia tidak terlalu malu. Sekarang Lala memberi porsi lebih besar untuk memikirkan ibunya.

"Mbak!" panggil seorang karyawan laki-laki di resepsionis yang Lala lewati.

Lala berhenti lalu mendekat ke meja penerima tamu itu.

"Bareng sama Mas Don ya?" tanya orang itu.

"Dony?" Lala mengangguk.

"Hari ini jadi check-out?"

Lala mengangguk, sepertinya begitu. Dony belum cerita padanya, tapi pagi itu cowok itu sudah membawa tas pakaiannya ke mobil.

"Ini ID-card-nya Mas Don," ucap orang itu.

Lala mengambil Kartu Tanda Penduduk milik Dony, "Terima kasih,"

Lala berjalan ke arah parkiran. Di jalan dia membaca nama di ID card itu. Don Efron Luan. Nama yang aneh, seaneh pemiliknya. Dony sudah menunggu di depan mobil saat Lala sudah menampakkan batang hidungnya.

"Lama amat si jalannya, kaya putri raja aja," gerutu Dony langsung masuk ke mobil, duduk di balik kemudi.

Lala duduk di kursi sebelahnya. Menutup pintu.

"La, seatbelt-nya," ujar Dony mengingatkan.

Cewek aneh itu masih sering lupa, meski sudah tidak sesering dulu. Dony tidak pernah bosan untuk mengingatkan walau harus berulang kali. Lala menyerahkan Id-card Dony sebelum memasang seatbelt-nya. Dony menerimanya, jadi tahu kenapa Lala lama sampai parkiran. Dony memasukkan KTP-nya ke dompet sebelum melajukan mobilnya.

"Nama asli Lo bukan Dony?" tanya Lala.

Dony tersenyum, cewek itu kepo juga. Senyum itu juga disebabkan karena Lala sudah mau mengeluarkan kata-kata lagi.

"Iyah. Itu panggilan kakak gue. Waktu kecil dia susah manggil Efron, keterusan dipakai semua orang," terang Dony.

"Apa artinya?"

Warna Bianglala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang