26 Terburu-buru

1.5K 197 393
                                    

"Eh, tadi garis demarkasi mengenai apa ya?" tanya Eko kebingungan.

Lala bingung saat pertanyaan itu diulang. Dia bilang kalau dia tadi lihat Tugu Penyepuhan Bambu Runcing saat mereka lewat jalan searah dari rumah makan bu Carik. Lala mengingat cerita Eko mengenai bambu runcing dari bambu kuning, pring gading, yang diberi doa untuk berperang. Lala jadi ingat perkara garis demarkasi. Dony malah semakin bingung, antara benar seperti itu atau garis yang lain.

Siang itu berlalu, Eko dan Rani bergantian menceritakan maksudnya mengajak bertemu untuk menjelaskan kalau hubungan mereka baik-baik saja, dan Rani meminta maaf karena sudah menuduh Lala jahat. Beberapa kali Rani berusaha mengajak Lala ke Ngadirejo, tapi Lala bilang belum siap. Takut merepotkan, meskipun Lala pada akhirnya lebih memilih untuk merepotkan Dony, lagi. Lala akhirnya menyerah, memilih untuk berhutang budi pada Dony.

Dony merasa menang tanpa berjuang.

Dony dan Lala sudah berada di kawasan villa di dekat jembatan Sigandul. Sedang berjalan ke arah villa yang mereka tempati. Hari sudah sore. Tapi kawasan wisata itu masih ramai. Gunung Sumbing tertutup awan sebagian, hanya kakinya yang tampak. Perlahan kelap-kelip lampu mulai bermunculan.

"La..." panggil Dony.

"Iya?" jawab Lala, berhenti dari jalannya, menunggu cowok yang jalan di belakangnya.

"Diatas ada shabu sama bbq, nanti malam cobain yuk?" ajak Dony. Ajakan untuk makan malam bersama.

"Ehm...." Lala ragu untuk langsung mengiyakan.

"Gue abis dapet sertifikasi," ujar Dony, menggunakan alasan Eko tadi siang untuk bilang dia yang traktir.

Lala menyeringai, dia tau Dony sedang menyindirnya. Mengejek garis demarkasi yang tidak adil antara untuk Dony dan Eko. Lala melihat Dony yang wajahnya kecut karena selalu mendapat penolakan. Lala menatap Dony dalam.

"Ayok, gue juga pengen cobain," jawab Lala kemudian. Dony tersenyum, manis sekali.

Habis maghrib, saat waktunya makan malam Dony dan Lala ke bagian lain kawasan wisata dimana villa mereka berada. Sebuah bangunan berlantai 3 dari baja. Dindingnya terbuat dari kaca. Ada meja-meja berbentuk kotak dengan lubang lingkaran di tengah untuk meletakkan kompor.

Dony memesan paket untuk berdua, shabu dan bbq. Jangan dibayangkan seperti di kota besar, menu untuk bbq-nya tidak ada shortplate slice, atau saikoro. Cuma ada ayam fillet, sosis, bakso dan jagung manis. Sayuran untuk shabu yang lebih lengkap dengan berbagai jamur, sawi kriting dan pokcoy.

Dony dan Lala duduk di dekat dinding kaca yang mengarah ke Gunung Sindoro. Kabut tipis menyelimuti lereng gunung itu, namun masih memperlihatkan lampu perkampungan yang kelap-kelip tersamar. Dua orang yang tinggal satu villa itu duduk berhadapan tanpa ada yang membelakangi gunung.

Dony dan Lala sudah memegang sumpit masing-masing, mangkuk nasi juga sudah ada di hadapan masing-masing. Mereka berdua mulai memasak yang mereka mau makan. Tidak langsung sekaligus, tapi sedikit demi sedikit. Dony membolak-balik fillet ayam di pemanggang dengan saus bbq, lalu meletakkannya sepotong yang sudah matang ke mangkuk Lala. Lala tersenyum. Cowok badak itu benar-benar baik.

Lala sendiri sedang merebus jamur enoki, sekejap saja karena tidak suka yang terlalu matang. Dia menawarkan pada Dony dengan mengangkat jamur lain sambil menatap cowok itu. Dony mengangguk. Lala meletakan jamur itu ke mangkuk Dony.

"Makasih," ucap Dony.

"Sama-sama," jawab Lala tersenyum.

"Enak?" tanya Dony membuka obrolan.

Dari tadi mereka hanya bicara seperlunya. Lala mengangguk.

"Gue jarang banget makan beginian. Semua makanan itu cuma ada enak, sama enak banget," ucap Lala dengan senyum ceria.

Warna Bianglala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang