56 Warna Kematian

1.6K 232 151
                                    

"Ada yang meninggal, Don?" ucap Nyoman sambil melewati jalan masuk ke rumah itu. Kedua cowok itu menoleh ke kiri, melihat pekarangan yang mulai ramai warga yang mengisi kursi. Mereka mencari tanah lapang untuk memarkirkan mobil mereka.

Dony diam. Otaknya langsung menduga-duga siapa yang mangkat. Hal ini mengejutkan mereka berdua. Setelah parkir, mereka mengenakan jaket yang kebetulan berwarna hitam. Dony mengenakan jaket berbahan denim, sedangkan Nyoman menggunakan hoodie.

Keduanya turun dari mobil lalu berjalan pelan ke rumah duka. Disana orang-orang yang hadir tidak semuanya mengenakan warna hitam. Pakaian rapi, sopan, seadanya. Tidak ada dress code. Penggunaan pakaian berwarna hitam hanya tradisi masyarakat urban sepertinya, meniru gaya Ratu Victoria Eropa.

Kehadiran Dony dan Nyoman menarik perhatian warga yang hadir. Beberapa tampak berbisik, sesekali melirik. Nyoman menepuk bahu Dony, merasa tidak nyaman menjadi pusat perhatian. Dony tidak peduli, fokus tujuan. Mereka mengambil duduk di kursi yang tertata di halaman. Memilih di bagian belakang. Dony tidak masuk ke rumah, dia belum tahu kondisinya.

Dony masih penasaran, siapa yang meninggal. Tapi dia juga tidak bertanya, melihat bagaimana cara orang memandang mereka membuat dia enggan. Akan aneh juga kalau bertanya siapa yang meninggal. Mereka akan bertanya balik, kamu siapa? Ngapain kesini kalau tidak tahu yang meninggal. Dony memilih untuk tetap penasaran.

Nyoman menyalakan rokok untuk membunuh bosan dan kikuk. Dia baru paham kenapa Nana lama membalas pesan-pesan terakhirnya. Sepertinya kejadian ini begitu membuatnya sibuk. Diam-diam dia mencari sosok Nana di rumah itu. Belum tampak.

Dalam diam yang sama, Dony juga mencari sosok Lala. Tapi juga belum terlihat. Dony mencari-cari sosok yang mungkin ia kenal untuk memastikan siapa yang mangkat, tapi tidak ada yang menampakkan diri.

Beberapa saat kemudian, ada seorang perempuan paruh baya yang Dony kenal. Asih. Dia datang di antar Agus. Orang yang dulu 'menemukan' Lala di toko Roti. Asih menyalami orang-orang yang melayat. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Sapa lembut ia berikan pada orang yang dikenalnya.

Meskipun ini acara berkabung, acara kematian yang berarti perpisahan dengan orang yang meninggal, namun momen ini juga merupakan ruang pertemuan. Kadang disaat kematian seperti ini justru pertemuan dengan orang-orang yang jarang berjumpa terjadi. Rasa duka keluarga disiram dengan dukungan berupa kehadiran.

Perjumpaan itu sampai juga pada Dony. Asih menangkap kehadirannya. Ibu Lala menghampirinya, diikuti Agus di belakangnya. Nyoman yang menyadari itu langsung memandang Dony, mengangkat dagunya sedikit, bertanya siapa.

"Ibunya Lala," jawab Dony pelan.

Asih yang mendekat ke Dony menarik perhatian warga yang hadir.  Bertanya-tanya siapa Dony. Tapi hal itu memberi ketenangan pada Dony. Dia jadi memiliki posisi di sana. Bukan orang asing lagi karena ada yang mengenalnya.

Perempuan paruh baya itu mengucap lirih, "Mas Dony?"

Asih mengulurkan tangan, Dony menyambutnya, mencium punggung tangan itu. Tangan Asih yang lain memegang lengan Dony. "Bu Asih, sehat?"

"Alhamdulillah. Mas Dony, saya nggak nyangka Wati pergi begitu cepat. Baru dua hari yang lalu saya menjenguk di rumah sakit," ucap Asih.

Dony mendapat jawaban siapa yang meninggal. Ah, Bu Wati, orang pertama yang memanggilnya 'Mas Dony'. Hati Dony mencelos.

"Sendiri, Mas?" tanya Asih.

"Oh, ini sama teman saya," ucap Dony memperkenalkan teman seperjalanannya.

"Nyoman, Bu," teman Dony itu memperkenalkan diri.

"Oh, Mas Nyoman. Nana udah cerita kemarin," ujar Asih. Si cowok yang tadi memperkenalkan diri jadi salah tingkah. Menggaruk tengkuknya.

Warna Bianglala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang