"Kenapa Lo mau bantuin gue?" tanya Lala.
"Kenapa Lo tanya gitu?" tanya Dony balik, memandang cewek yang memberi pertanyaan aneh.
Lala mengedikkan bahunya, "Pengen tau aja,"
Dony tidak langsung menjawab. Dia baru selesai mengemasi barangnya. Lalu cowok itu memakai sepatunya.
"Susah ya mau jadi orang baik, harus kasih alasan dulu?" tanya Dony lembut, namun menusuk.
Lala hanya memperhatikan gerak gerik cowok itu, menyesalkan pertanyaannya sendiri. Kalau mau baik mah baik aja, ga perlu alasan. Dony melirik sedikit ke arah Lala saat sedang mengikat tali sepatunya. Cewek itu sedang menggigit jemarinya, menghitung kebaikan-kebaikan Dony selama beberapa hari kemarin. Sopan dia bertanya begitu?
"Lo kasih pertanyaan yang sama ke Mas Eko, nggak? Atau karena dia berseragam dan gue bertato jadi pertanyaan itu ga berlaku buat dia?" tanya Dony, bertubi-tubi. Seperti ada nada kekesalan dalam pertanyaannya.
Lala tercekat, menggigit bibir bawahnya sekarang. Khawatir pertanyaannya sudah menyinggung cowok itu.
"Bukan gitu maksud gue," ujar Lala, dia menelan ludahnya. Tidak bisa berkata-kata untuk menjawab pertanyaan Dony.
Dony memahami kegelisahan Lala.
"Warna masa lalu, kayak yang udah gue bilang. itu saja. Yok, gue udah laper," ajak Dony lembut, tidak memperpanjang urusan.
Lala menghela nafas, bersyukur cowok badak itu tidak menuntut jawaban. Meskipun Lala berharap ada jawaban lain dari pertanyaannya. Lala menyambar tote bag merahnya. Tote bag yang mencuri perhatian Dony karena berwarna merah. Dony membuka pintu kamar, mempersilahkan Lala jalan duluan. Dony mengecek kalau ada barang yang tertinggal, lalu ikut keluar dan mengunci pintu kamar itu sebelum meninggalkannya.
Lala menunggu di dekat mobil yang Dony sewa. Dony sedang mengembalikan kunci kamar. Check out sekalian katanya. Setelah urusannya selesai barulah mereka jalan ke tempat makan yang Dony ingin datangi. Ke arah kota Temanggung dimana Eko juga rapat di sana.
"Sorry ya La, kemarin gue balik duluan, padahal ceritanya belum kelar," ucap Dony di awal perjalanan mereka.
"Eh, nggak papa kok, ceritanya juga belum utuh," jawab Lala.
Lala paham ketidaknyamanan pembahasan tato tadi malam. Sepertinya keluarganya memiliki stigma pada orang bertato. Begitulah sejarah mengkonstruksi cara berpikir. Meskipun sejarah juga tidak tunggal, sangat terbuka berbagai kemungkinannya. Secara personal, mungkin itu mengganggu Dony.
"Ada info apa lagi?" tanya Dony pelan, mencari topik.
Lala menimbang sejenak. Apakah cowok itu perlu tau?
Dony melirik keraguan Lala, berucap lembut, "Kalau Lo nggak mau cerita, nggak usah cerita,"
Lala memandang cowok di sebelahnya. Tidak menuntut. Dewasa?
Ah, cowok itu sudah tahu kisahnya sejauh ini. Pun banyak bantuan yang sudah dia berikan. Apa salahnya cerita?
"Kemarin gue nanya sama Bulik, nyari tau alasan kenapa nyokap gue tega ninggalin gue," ucap Lala memulai ceritanya.
"Kalau mau menyalahkan keadaan, nggak cuma perkara cinta yang dilarang. Tapi keadaan perekonomian negara juga jadi penyebabnya. Gue lahir pas krisis moneter, nyokap udah nggak kerja karena hamil gue. Krisis itu bikin bokap kehilangan pekerjaan. Nyokap balik kampung. Mungkin mau minta restu, mungkin juga mau cari penghidupan yang lebih baik," terang Lala.
"Gila si, gue yang ga pernah peduli sama kondisi negara, ternyata pengaruhnya sebesar itu ke keluarga kecil gue," imbuh Lala.
Dony menyimak cerita Lala. Miris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Bianglala [END]
DiversosSebuah daerah di tengah Jawa Tengah, menarik perhatian Dony untuk datang mengunjunginya. Dony, seorang fotografer dari ibukota yang menyukai warna masa lalu. Daerah ini memiliki jejak cerita masa lampau yang panjang dan memukau. Jejak warnanya akan...