04 Harga Sebuah Maaf

1.8K 183 44
                                    

Pagi-pagi Dony sudah bangun, dia memotret tempatnya menginap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi-pagi Dony sudah bangun, dia memotret tempatnya menginap. Warna hijau kusen dan pintu danjendela berwarna biru daunnya. Deretan Lampu gantung. Ah, pagi hari juga memberikan pencahayaan yang khas. Sejuk. Bayangan tanaman yang jatuh di dinding juga menjadi objek yang puitis. Halaman depan kamar cukup hijau dan asri. Hanya bunga dari pohon batavia yang memberi kontras warna magenta.

Setelahnya dia duduk di kursi sedan di depan kamarnya. Seperti biasa, dia melihat kembali hasil jepretannya. Secangkir kopi menemaninya, ia letakkan di meja sebelahnya. Kali ini kopi sachet yang ia buat sendiri di kamar dengan water heater.

Jam 07.00 karyawan penginapan berkeliling mengantar sarapan ke tamu penginapan. Mengetuk pintu kamar yang masih tertutup. Setelah beberapa kamar yang menerima sarapan, Dony pun mendapat gilirannya. Sarapan berupa paket bento. Nasi dengan lauk mie, sepotong rendang ayam, beberapa tusuk sate dan sebuah telur ceplok. di kotak bertutup hitam dengan dasar merah.  Hanya protein dan karbohidrat. Perpaduan yang tidak seimbang. Lumayan lah.

Dony baru membuka paket bento-nya ketika ketukan di pintu kamar sebelah dibalas sahutan. Seorang cewek keluar, wajahnya masih kusut. Dia menerima paket bento-nya. Cewek itu menangkap pandangan Dony yang sedang duduk di depan kamarnya.

"Hai, La," sapa Dony sopan, tersenyum.

Lala tidak menanggapi. Memandang cowok itu sinis. Langsung masuk lagi ke dalam kamarnya.

Dony menarik senyumnya. Apa dia sudah jahat ke cewek itu? Sesalah ia memaksanya menginap di penginapan yang sama dengannya? Sisi perasanya mengajukan beberapa pertanyaan.

Dasar cewek, bisanya bikin ribet doang. Dony mengabaikan pertanyaan yang dia buat sendiri. Seperti memanipulasi pikirannya. Cewek itu? Bukan urusannya. Dony memilih menikmati makannya saja. Sayang rasa makanannya jadi hambar. Ada sesal yang mengganjal. Rasa bersalah? Mungkin.

Dony menghisap sebatang rokok, masih di kursi yang sama setelah makan. Dia membuka hp-nya. Membuka aplikasi peta. Melihat-lihat lokasi di Temanggung yang sudah ditandainya dengan bendera hijau: Want to go.

Ada rumah milik seorang peranakan Tionghoa, Pabrik rumahan pembuat cerutu dan sebuah tempat makan lawas. Dony sudah menyusun rencananya di angan-angan.

Dia masih bersantai saja di kursi sedan itu. Merokok lagi, menemani menghabiskan kopi. Sudah setahun dia bekerja, ini saatnya membiarkan tubuhnya bermalas saja.

Saat Dony masih memandangi taman hijau berhias bunga batavia berwarna magenta, pintu kamar sebelah dibuka. Lala keluar sudah berpakaian rapi. Lengkap dengan bucket hat warna merahnya. Cewek itu memandang sekilas ke arah Dony dengan wajah masam. Kesal dan sebal.

Dony berdiri dari duduknya, "La... Lo mau jalan?" ucap Dony pelan.

Lala bergeming.

"La, maafin gue semalam, gue nggak bermaksud apa-apa. Gue cuma khawatir Lo kenapa-kenapa di terminal," ungkap Dony dengan tulus.

Warna Bianglala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang