16 Seleksi Alam

1.3K 177 94
                                    

Air muka Lala berubah. Sedikit kecewa. Melihat wajah Lala, Dony lalu memandang Arham, berganti pada Eko.

'Apa cowok ini cuma cari akal-akalan untuk mengajak Lala pergi berdua?' batin Dony.

Kenapa kalau sekedar memberi informasi tidak dikabarkan lewat pesan saja? Ngapain mesti ngajak ketemu di Temanggung? Biar bisa boncengin Lala pake vespa? Dony membuat praduga-praduga. Ah, tapi apapun alasannya, pemuda itu sudah membuatnya bisa sepagian bersama cewek aneh itu. Dony tersenyum di pikiran, menghapus praduganya.

Pesanan Arham dan Eko datang. Dua gelas cappucino.

"Dulu Bu asih itu pindahan dari Ngadirejo. Saya sempat ketemu sebentar, tapi habis itu Bu Asih pindah," cerita Arham.

"Sebentar, apakah ini sudah benar Bu Asih yang sama?" tanya Dony memastikan.

"Bu Asih ini dulu katanya dari Jakarta, dia anaknya priyayi. Tadinya saya ragu-ragu, tapi pas ketemu Mbak Lala, saya yakin, mereka mirip sekali," ujar Arham setelah meminum cappucinonya.

Lala tersenyum mendapat sepenggal cerita tersebut. Sepenggal ingatan mengenai ibunya. Mirip dengan Lala katanya.

"Mbak Lala punya fotonya?" tanya Arham.

Lala menggeleng sedih. Tidak, bahkan tidak ada ingatan yang bisa ia jaga.

"Sebentar," Arham membuka hp-nya. Dony dan Eko hanya menyimak, menunggu. Dony menyalakan batang rokok ke duanya, setelah melirik Lala, mohon ijin dan mendapat anggukan.

"Ini Mbak," Arham menunjukkan sebuah foto di akun facebook sekolah tempatnya mengajar. Guru muda itu menyerahkan hp-nya pada Lala.

Lala menerima hp-itu, melihat foto orang-orang berseragam yang berdiri berjajar. Lala mengamatinya satu persatu.

"Apa yang ini?" tanya Lala menunjuk seorang perempuan berjilbab, tanpa diberi tahu lebih dulu sosok mana yang bernama Bu Asih.

Arham melihat foto yang ditunjuk Lala, Eko juga, keduanya mengangguk bersamaan. Lala menelan ludahnya. Akhirnya dia melihat sosok ibunya, meski hanya dalam bentuk foto. Perempuan paruh baya yang mewariskan bentuk mata pada Lala. Juga alisnya. Dada Lala bergemuruh. Berulang kali dia menarik nafas panjang. Foto itu menjadi ingatan baru di benak Lala.

Tanpa sadar air mata menetes dari sudut matanya. Haru.

Suara kotak tisu tergeser berderit di atas meja. Dua cowok beradu cepat hendak mengambilkan tisu untuk Lala, Dony dan Eko saling pandang. Canggung. Akhirnya Lala mengambil sendiri tisunya. Arham yang melihat kejadian itu bingung sendiri.

Lala mulai merasakan hal yang tidak biasa di antara Dony dan Eko. Dua laki-laki yang menemani perjalanan mencari ibunya. Apa yang mendorong keduanya untuk terus membantunya? Lala bingung memikirkannya. Kali ini dia ingin egois, dia hanya ingin mencari ibunya. Hal-hal di luar itu ingin dia kesampingkan.

"Mas Arham tau dimana dulu ibu tinggal?" tanya Lala.

"Ini tadi saya sudah tanya ke guru senior yang lebih tau. Tapi belum ada yang respon. Maklum beberapa yang tahu sudah pensiun, mungkin sedang ke ladang. Nanti kalau sudah ada tanggapan saya kasih tau Mbak," ujar Arham.

"Mbak Lala mau menunggu atau mau pulang dulu?" tanya Eko.

"Ehm..." Lala tidak langsung menjawab.

"Kalau Mas Eko buru-buru, Lala bisa sama saya, Mas," Dony menawarkan diri.

"Ehm, saya juga sudah tidak ada urusan, jadi aman. Cuma mbak Lala ini apa udah capek atau mau menunggu, gitu maksud saya," ujar Eko.

Lala memandang dua laki-laki yang berupaya membantunya. Seperti dua kakak yang siap jadi jagoan untuk adik kecilnya.

Warna Bianglala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang