05 Jejak Cerita

1.8K 168 73
                                    

"Parakan,"

Lala menyebut sebuah nama kecamatan di Temanggung.

"Oh, gue juga ada rencana sampai kesana," ujar Dony. Lalu menentukan sebuah titik di aplikasi peta.

Lala memasukkan lagi jurnal bersampul merah miliknya ke dalam tas. Kemudian meletakkan tas itu di seat belakang mobil. Dia kembali duduk dengan tenang.

"Lala, seatbelt-nya pasang dong," ujar Dony pelan.

Lala melakukan apa yang Dony minta. Lalu duduk dengan tenang kembali, menghadap ke depan, melihat jalanan. Matahari belum sampai tengah saat mereka menelusuri menuju pusat kota Temanggung juga dengan tenang. Tidak banyak percakapan.

Dony menyetir dengan kecepatan yang tidak terlalu tinggi. Di sebuah pertigaan dia melihat warung makan Jadoel yang sudah dia tandai di aplikasi peta. Warung kecil yang nyempil di belakang halte bus. Tapi tampak sangat ramai. Kali ini dia harus melewatkannya.

Sepertinya Dony dan Lala melewati jalan utama kota ini. Trotoar yang rapi dibatasi pot tanaman yang juga apik. Banyak bangunan lawas yang diperhatikan Dony, meskipun dia harus melewatkannya saja.

Kemudian mereka melewati jalanan yang semakin padat. Ruas kirinya dimakan sebagian untuk parkiran. Selain itu banyak angkot juga. Angkotnya warna-warni, ada orange, biru dan hijau. Mungkin masing-masing warna mewakili jalur trayeknya.

Di pertigaan dengan instalasi kuda lumping di tengah jalan, Dony mengarahkan mobil ke kanan. Dua jalan di pertigaan itu menuju Parakan. Dony memilih lewat jalan ke kanan karena ada dua tanda bendera hijau di aplikasi petanya.

Ya, beberapa rumah lama ada di sana. Masih di huni dan terawat. Dony menghela nafas karena belum saatnya dia eksplore daerah itu. Menyeberang perempatan berlampu merah kemudian melihat toko kecil pembuatan cerutu. Hanya terbuka pintu kecilnya. Tokonya masih tutup sepertinya.

Menelusuri jalan lagi, di sebuah jembatan Dony memelankan berkendaranya, dia melihat ada bekas jembatan rel di kanan jauh.

"Kenapa?" tanya Lala yang heran tiba-tiba memelan.

"Itu ada bekas jembatan rel," jawab Dony.

"Oh, dulu ada kereta disini,"

"Kayaknya,"

"Kenapa ga ada sekarang? Kalau ada kereta kan gue bisa langsung ke Temanggung tanpa harus nyasar ke Jogja, ga harus ketemu Elu,"

Dony hanya menggeleng kecil dan tersenyum tipis.

"Kenapa malah bangun kereta cepat Jakarta-Bandung yang udah ada jalur keretanya?"

"Demandnya lebih banyak mungkin,"

"Kalau dulu ada, berarti demandnya ada dong,"

"Kereta jaman dulu tu tujuannya bisnis, pasti ada komoditas besar yang perlu diangkut, sekarang mungkin lebih efektif pakai truk,"

"Emang ada apa disini?" tanya Lala.

"Tembakau," jawab Dony singkat.

Setelah melewati jalanan yang sedikit menanjak dan desa-desa mereka kemudian melewati area ladang yang cukup luas. Apakah ladang tembakau? Mungkin tapi tidak ada tanaman tembakau yang terlihat. Mungkin sedang tidak musimnya. Iya, Parakan adalah daerah penghasil tembakau. Mungkin karena di kaki gunung.

"Lala, liat!" ujar Dony menunjuk ke arah kiri.

Mata Lala mengekor ke arah telunjuk Dony.

Sebuah gunung tinggi menjulang di kiri jauh. Lala terperangah melihatnya.

"Gunung Sumbing, gue turun bentar ya?" ujar Dony.

"Ngapain?"

Dony tidak menjawab, cowok itu menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Mengambil tas bahu di seat belakang. Mengeluarkan sebuah kamera. Bukan, bukan kamera pocket. Kamera lain, mirrorless sepertinya, dengan logo bulat melingkar sama seperti kamera pocketnya. Dony memasang lensanya terlebih dahulu. Baru dia turun dari mobil ke arah depan. Lala hanya mengamati cowok itu sibuk mengambil gambar.

Warna Bianglala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang