"Gue Lala, Bianglala," Lala memperkenalkan diri, tanda menyetujui untuk ikut.
"Gue Dony," si cowok bertato di lengannya memperkenalkan diri. Dia berdiri lalu membayar minumannya, begitu juga Lala. Dony berjalan menuju mobil hitam yang terparkir di seberang jalan. Lala mengekor di belakangnya. Dony membuka kunci lalu meletakkan tasnya di seat belakang. Lala melakukan hal yang sama. Lalu masuk juga ke mobil tersebut.
Dony menjalankan mobilnya menuju arah Utara, ke arah Temanggung. Di tengah perjalanan mereka berhenti di SPBU untuk membeli bahan bakar. Dony mengisi tangki hampir penuh, Rp 350.000,-. Lala menyodorkan uang selembar seratus ribuan saat Dony kembali duduk di belakang kemudi.
"Ntar aja," ujar Dony. Lala memasukkan lagi uangnya.
Selama perjalanan Dony dan Lala lebih banyak saling diam. Suara radio yang tidak terlalu keras mengisi sunyi. Mereka irit bicara. Hanya, 'awas!', 'Ada truk', atau 'hati-hati', yang terucap dari mulut Lala memberi peringatan. Kadang bahkan membuat Dony kesal sangking bawelnya perempuan itu. Dia tidak suka suara berisik. Seolah-olah Lala tidak mempercayai caranya mengemudi.
"Bisa anteng dikit nggak?" akhirnya Dony mengemukakan perasaannya setelah berkali-kali berdecak dan melirik tajam.
"Ehm, sorry. Gue cuma..."
"Brisik!" ujar Donny.
"Iya, maaf," timpal Lala, jemarinya saling meremas. Cowok itu menyebalkan juga rupanya.
Kabin mobil kembali sunyi dari perbincangan. Hanya suara lagu dari salah satu stasiun radio lokal. Suara radiopun begitu tipis, sangking tipisnya sampai tiba-tiba terdengar suara perut. Yak, suara perut Lala.
Paginya kacau, dia belum sempat sarapan. Perdebatan dengan ayahnya membuatnya tergesa, makan siang terlewatinya juga. Perjalanan 8jam di kereta membuatnya belum juga makan malam.
Telinga Dony mendengar suara itu. Dia tidak membahasnya tapi langsung memutuskan sebuah tindakan.
"Kita makan dulu ya," sebuah kalimat pemberitahuan pada cewek di sebelahnya ketika mereka sampai di daerah Muntilan. Tanpa pertanyaan pilihan makanan ataupun permintaan persetujuan.
Lala hanya mengangguk tidak memberi sanggahan. Dia memang kelaparan.
Dony membelokkan mobilnya masuk ke jalan di sebelah klenteng. Lalu memarkirkan mobilnya di ruas kiri jalan. Sedangkan di ruas kanan jalan searah itu berjajar warung tenda dengan berbagai pilihan menu makanan. Dony mengambil tas bahunya. Sedangkan Lala mengeluarkan sebuah pouch berwarna merah dari tasnya.
"Gue nggak tau Lo mau makan apa, gue juga males ribet. Jadi disini aja, Lo tinggal pilih," ujar Dony.
Dony berjalan sambil memotret beberapa detil bangunan dengan kamera pocket nya. Jendela berwarna hijau dengan ventilasi berukir jadi objek pertama sasaran kameranya.
"Gue nggak biasa milih makanan, bisa makan aja itu berkah," ujar Lala.
Dony menoleh ke arah perempuan itu. Nggak ribet anaknya.
"Gue ikut Lo aja," tandas Lala.
Mereka berjalan melewati beberapa warung tenda yang menjual soto, bakmi, nasi goreng, dan sate-tongseng. Dony baru saja memotret jendela lain berwarna biru muda. Baru setelahnya dia memilih sebuah warung sate dan tongseng hampir di ujung jalan. Lala mengamati sepanduk penutup warung tenda itu, lalu tersenyum memperlihatkan giginya.
"Kenapa?" tanya Dony.
"Lucu aja namanya, ini Jl. Veteran Sayangan?" Lala terkekeh membaca alamat di spanduk warung tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Bianglala [END]
AcakSebuah daerah di tengah Jawa Tengah, menarik perhatian Dony untuk datang mengunjunginya. Dony, seorang fotografer dari ibukota yang menyukai warna masa lalu. Daerah ini memiliki jejak cerita masa lampau yang panjang dan memukau. Jejak warnanya akan...