58 Di Dapur

1.5K 224 242
                                    

Pagi-pagi Lala bangun cepat. Dia langsung ke dapur, duduk berdiam diri di amben yang ada di sana. Ada Rani yang sudah menyalakan tungku, masak air. Hawa dingin masih terasa. Semalam hujan. Nyala api di tungku sedikit memberi kehangatan. Rani duduk di bangku di depan tungku. Diam juga.

Entah apa yang hinggap di kepala masing-masing. Kenangan? Iya bayangan tentang Wati masih ada di sana. Pagi-pagi membuat sarapan, atau sudah mulai merebus singkong untuk dibuat keripik yang ia produksi. Ya, sebagian besar waktu Wati dihabiskan di dapur itu. Rani masih berduka, tentu saja.

Wati sudah tiada, tapi kenangan itu masih ada. Ingatan yang menjaganya tetap ada. Kenangan itu tidak pernah mati seperti raga yang fana. Ia hidup dalam ingatan-ingatan yang tersimpan di kepala orang-orang yang masih hidup.

Apakah demikian juga kenangan masa lalu Dony? Mestinya masih hidup di ingatannya. Ah, cepat-cepat Lala menghapus pertanyaan yang hinggap di kepalanya sesaat. Bodo amat.

Ingatan lain hinggap di kepalanya. Di hari Wati meninggal, di dapur yang sama Lala mendapati ayah dan ibunya duduk berdua. Malam saat dia berlalu dari perbincangannya dengan Dony, bersama Nana dan Nyoman. Langkahnya terhenti di depan pintu.

"Dek Asih, maafkan aku. Aku terlalu egois untuk tidak menyusulmu ke Temanggung," begitu suara Harwan. "Aku terlalu gengsi, karena aku tidak sanggup direndahkan karena tidak mampu. Aku tidak punya muka di depan keluargamu. Aku hanya membela harga diriku, aku tidak memikirkan Lala, bahkan aku tidak tahu kalau ada Nana."

"Mas, aku yang minta maaf. Aku yang kurang sabar menemani kalian. Aku kepikiran masa depan Lala. Malah tidak memikirkan perasaanmu. Tidak memikirkan anak kita. Aku merasa bersalah sekali pada Lala. Dosaku besar sekali pada kalian," begitu suara Asih.

Dua orang tuanya saling berebut meminta maaf. Berebut siapa yang paling salah. Untuk waktu puluhan tahun yang terlewati sudah. Ah, waktu yang sangat panjang untuk terus marah. Waktu yang teramat panjang untuk memikirkan siapa yang salah, lelah.

Lala sampai menitikan air mata. Ingatan akan kenangan mereka yang tetap dihidupi. Amarah hilanglah sudah.

Di dapur, pikiran lain hinggap ke kepala Lala. Apakah kenangan itu juga hidup di kepala Dony? Di hatinya? Dalam ingatan-ingatannya? Lagi-lagi Lala cepat-cepat menghapusnya. Bodo amat.

Lamunan Lala teralihkan saat Rani bergerak mengisi tremos dengan air yang sudah mendidih.

"Ran... mau masak apa?" tanya Lala.

"Tempe aja kali ya, Mbak. Bude Asih beli banyak banget kemarin, goreng tempe," ucap Rani.

"Ada kangkung juga kayaknya, ditumis?"

"Boleh," ucap Rani.

Lala menyiapkan tempe dan bumbunya. Rani memotong kangkung.

"Mbak, Mas Dony semalam kok pulang duluan?" tanya Rani.

"Nggak tau."

"Lho kok gak tau? Bukannya kalian pacaran?" tanya Rani.

"Siapa bilang?"

"Eh? Aku kira Mas Dony kesini nyusulin Mbak Lala. Apa kata anak gaul? Effort? Effort-nya nggak main-main," ungkap Rani.

Effort? Segitunya effort Dony? Buat apa? Masa lalunya bukannya lebih berharga? Batin Lala. Dia tidak mau hanya menjadi pelarian. Baiklah, Dony memang lupa perkara masih menyimpan foto-foto itu. Tapi dalamnya hati siapa tahu, bukan?

Hati dan pikiran itu bukan mesin. Otak menyimpan pengalaman bahkan sejak kecil. Manusia tidak punya kuasa untuk memilah ingatan mana yang tersimpan mana yang terlupakan. Ada yang sudah diingat-ingat tapi kelupaan, ada yang ingin dihapuskan malah tetap teringat dengan kuat. Tidak ada cara seinstan tombol delete  atau ctrl+s untuk otak manusia.

Warna Bianglala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang