“Baik, Om,” sebuah kesanggupan yang Dony sampaikan dengan sungguh-sungguh.
“Saya serius dengan omongan saya,” ucap Harwan tegas meski tetap lirih, tak mau anaknya mendengar. Dia menatap cowok di depannya tajam, setajam sembilu.
Dony sedikit gentar. Masalah kemarin yang awalnya dianggap tidak berat sepertinya berdampak lebar. Dia hanya memberi peringatan dengan kata ‘jangan’. Apa Lala sesakit itu? Pacarnya itu tidak bercakap banyak. Belum. Pun Lala sepertinya sudah biasa saja.
Trauma? Apa itu masalahnya? Sepertinya bukan. Tidak seberat itu jika menyebutnya sebagai trauma. Sebutlah pembelajaran. Dony tidak mau kisahnya buruk lagi. Lala tidak mau kisah orangtuanya terulang lagi. Begitu pula dengan Harwan. Itu saja.
Dony mengangguk mantap. Tidak ingin ucapannya hanya menjadi omong kosong.
“Makaaaan!” Suara Lala membuat suasana canggung lenyap. Dua laki-laki dewasa itu sama-sama tidak ingin membuat perempuan yang menyiapkan makan berpikir yang bukan-bukan.
Lala membawa cobek sambal dulu. Lalu diikuti makanan yang lainnya. Makan malam yang sederhana. Mereka makan bersama dengan khusyuk.
Dony makan dengan lahap. Persoalan makanan tidak jadi masalah buatnya. Dia bukan pemilih makanan berdasar kemewahannya. Banyak perjalanan membuatnya menerima banyak hal. Kedewasaan tidak hanya persoalan sikap, namun juga sesederhana perkara makan.
Selesai makan, barulah suasana serius sedikit santai.
Dony mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Beberapa bungkus kopi dari Pekalongan. Menyerahkannya ke Lala. Oleh-oleh katanya.
“Eh, kita lama tidak main catur, mau main?” Tawar Harwan.
Lala sedang membereskan piring kotor bekas makan mereka. Dony tidak langsung menjawab. Catur itu bikin pusing.
“Ayah, Mas Dony ini baru sampai, masih capek laah,” Lala yang menimpali Harwan.
Harwan melirik Lala, Lala tidak tahu. Dony yang tahu.
“Iya, iya… tau yang masih kangen,” ujar Harwan, berlalu membawa cobek membnatu Lala berbenah.
Lala melirik Dony, cowok itu nyengir mendengar celetukan Harwan.
“Apa sih,” Lala mencebik, berlalu juga.
Dony beranjak ke teras Rumah, merokok. Seperti kebiasaannya setelah makan. Hari belum terlalu malam. Masih ada beberapa orang yang lewat. Dony menganggukan kepala untuk menyapa. Yang lewat hanya tersenyum, mungkin membatin banyak hal.
Tak lama Lala menghampiri Dony. Membawakan segelas kopi. Iya, kopi yang dibawa Dony tadi. Lala duduk di sebelah cowok itu, cowoknya.
“Gimana perjalanan kali ini?” Tanya Lala. Dia senang mendengar cerita Dony setiap pacarnya itu baru pulang bertualang.
“Seru,” jawab Dony. Dia cerita perkara Owa yang tersengat listrik karena bergelantungan di jaringan kabel instalasi listrik. Satwa lain yang ada disana seperti lutung dan rekrekan. Juga pembangkit listrik mikro hydro yang jadi sumber pelita. Juga kopi lokal yang ditumbuk pakai lumpang.
Lala menyimak penuh ingin tahu. Dia bertanya ini dan itu.
“Yang ga seru susah sinyal,” ujarnya.
“Aku kepikiran dulu pas belum ada hp, orang yang LDR kek mana. Mungkin lebih tentram bermodal percaya. Ga perlu curiga karena ada yang kirim foto,” ungkap Lala.
Dony melirik cewek di sebelahnya, “Mamah ga salah, La. Aku yang ga rela. Dan aku cuma kasih peringatan, biar Kamu ga macem-macem.”
“Mas, aku tuh pacaran aja baru belajar. Belum belajar sampai selingkuh,” ujar Lala bergurau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Bianglala [END]
AcakSebuah daerah di tengah Jawa Tengah, menarik perhatian Dony untuk datang mengunjunginya. Dony, seorang fotografer dari ibukota yang menyukai warna masa lalu. Daerah ini memiliki jejak cerita masa lampau yang panjang dan memukau. Jejak warnanya akan...