"Mbak Lala Jahat!" ucap Rani, keras dan Lantang.
Gadis itu menangis keras sambil masuk ke dalam rumahnya. Gadis itu tidak berhenti di ruang depan. Tidak juga masuk ke kamarnya. Gadis itu ke ruang tengah, dimana ada bangku panjang tempat bapak ibunya sedang duduk membicarakan singkong di kebun yang mulai sedikit jumlahnya.
Sepasang suami istri itu terkaget di duduknya. Rani merangsek ke ibunya, mengadu.
"Ono opo Nduk?" tanya Wati lembut, walau kaget anaknya datang dengan tangis.
Rani tersedu-sedu, tidak menjawab pertanyaan Wati.
"Ngopo?" tanya Warno dengan suara tegas.
Wati mengusap punggung anaknya untuk menenangkan.
"Nangis kok ra ono juntrunge," ucap Warno sedikit kesal.
Lala mendengar tangisan Rani, dia tadinya mau mengikuti ke ruangan itu untuk mencari tahu mengapa gadis itu menilainya jahat. Tapi Lala menundanya. Dia tidak mau mengganggu perbincangan anak dan orang tua itu. Lala hanya berdiri di balik dinding pemisah ruangan. Menunggu.
"Mbak Lala, Bu. Mbak Lala sama Mas Eko," ucap Rani di sela isaknya.
"Ha'njuk?" tanya Warno yang tanya lagi.
"Mbak Lala tega, ngrebut Mas Eko!" Rani mengadu pada orang tuanya.
"Sabar, Nduk. Belum tentu to," Wati mencoba menenangkan.
"Ibu kok malah belain Mbak Lala, to Bu? Mas Eko nggak pernah hubungi aku setelah ketemu Mbak Lala. Biasanya dia datang kesini mau jemput aku, tapi tadi pagi malah jemput Mbak Lala. Seharian mereka pergi berdua. Pulang malam lagi," ungkap Rani panjang.
"Ya kan mereka urusannya nyari Ibunya Lala to, Nduk," ucap Wati lagi, terkesan membela Lala.
"Lah, itu tadi Mbak Lala minta nomor hp Mas Eko buat apa, kalau mereka nggak mau pendekatan?" tuduh Lala.
"Ya mungkin karena ada urusan Ran," Wati masih menjawab pertanyaan anaknya.
"Ibu lebih sayang Mbak Lala dari pada aku? Iya, Bu?"
"Ora ngono,"
"Ibu tega!" Rani menyentak ibunya sendiri.
Lala baru tahu kalau gadis itu justru menaruh hati pada Eko, sebelumnya ia pikir gadis itu menaruh hati pada Dony. Karena dia sering menanyakan cowok badak itu. Dia sangat tidak enak hati dengan Rani. Sama sekali dia tidak berpikir untuk mendekati pemuda desa itu. Dia pergi dengan Eko hanya untuk urusan mencari ibunya. Sungguhpun kedekatannya hanya karena Lala menghormati pemuda yang sudah berbaik hati membantunya.
Lala sudah maju selangkah hendak menjelaskan duduk perkaranya dengan Eko. Tapi langkahnya terhenti. Lala mematung saat mendengar kalimat selanjutnya yang ia dengar.
"Bu, Kowe ojo mbelani terus. Sudah benar tidak berhubungan dengan keluarga itu lagi. Kowe ra kelingan? Masmu yang menjual rumah di Parakan? Duitnya dia bawa semua ke Jakarta. Terus ga ono kabar. Tiba-tiba anaknya kesini. Numpang, ngentek-enteke pangan!"
Suara Warno yang keras menggetarkan hati Lala. Meski dia tidak sepenuhnya paham dengan kalimat Warno, tapi dia tahu kalau kehadirannya tidak dikehendaki disana. Lala tiba-tiba merasa sendiri lagi. Kehangatan keluarga yang beberapa hari ia dapatkan luntur.
"Pak, kok malah bahas sek uwes suwi to?" Wati bersuara.
"Lha, kejadian yang lama itu akibatnya sampai sekarang, Bu. Kalau kita dapat bagian, paling nggak anakmu bisa kuliah," tandas Warno.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Bianglala [END]
AcakSebuah daerah di tengah Jawa Tengah, menarik perhatian Dony untuk datang mengunjunginya. Dony, seorang fotografer dari ibukota yang menyukai warna masa lalu. Daerah ini memiliki jejak cerita masa lampau yang panjang dan memukau. Jejak warnanya akan...