(31). Hukum dan Sains

466 56 8
                                    

"Sesuai prosedur hukum, Ananda Rian telah melakukan pelanggaran hukum pasal—

"Sesuai prosedur hukum, ketentuan Perbup Nomor 27 Tahun 2019 tentang SOP SATPOL PP dalam bab melakukan operasi penertiban. 'Apabila ada penolakan dan perlawanan, pertugas dapat melakukan negosiasi dan memberikan pemahaman kepada yang bersangkutan, serta dapat menggunakan mediator (pihak ketiga) untuk menjembatani'." Suara itu memotong Satpol PP yang hendak berbicara pada Muh.

Muh menghela napas lega. Penolong telah tiba.

Umar Semesta Adl.

Muh menaikkan sebelah bibir. Mata legamnya menatap sang sahabat yang datang tepat waktu. Detik jam terus berpacu bersamaan jantungnya yang berdetak tak karuan. Ia tidak pernah punya cukup waktu untuk mengurusi aparat di tengah-tengah adik jalanannya yang terbaring di bangsal IGD.

 Aysha yang baru saja tiba di IGD terperangah dengan kehadiran sosok Umar yang datang secara tiba-tiba—membawa amunisi hukum di otaknya. 

Kapan Muh manggilnya?

Muh menepuk pundak Umar dua kali, seakan memberi kode, tolong urus bagian yang ini.

Laki-laki berkacamata itu mengangguk, serahkan suatu perkara pada ahlinya.

"Anda siapa?" Satpol PP itu kembali bertanya pada Umar.

"Saya?" Umar menunjuk dadanya sendiri. "Saya di sini akan berperan sebagai mediator yang menjembatani proses operasi penertiban sesuai jalur hukum." Umar mengulurkan tangannya, memperkenalkan diri dengan sangat elegan, di telapaknya sudah terselip kartu nama sang Ayah dari Firma Hukum Semesta Adl beserta beberapa lembar uang berwarna merah muda.

Muh sudah mengindahkan perhatiannya. Urusan Satpol PP dan segala hukumnya itu sudah diurus oleh orang yang tepat. Umar sekarang sudah bercakap intens dengan Satpol PP—menjauh dari ranjang Rian.

Sekarang giliran dirinya yang bergerak. Matanya menyisir keramaian yang tercipta di IGD. Tungkai panjangnya melangkah mendekati salah satu dokter wanita yang tengah bercakap dengan perawat di meja administrasi tengah IGD.

Tangannya mencekal pergelangan sang Dokter. "Sebelah sini butuh bantuan, Dok."

Dokter itu menengok, kepalanya mengikuti arah telunjuk Muh yang mengarah pada ranjang Rian. "Oh, anda wali dari anak kecil itu?" tanya dokter itu sopan.

Muh mengangguk.

Dokter itu segera bergerak menuju ranjang Rian. Di situ sudah ada Aysha yang berdiri tak jauh seraya merangkul Jojo yang terlihat panik. "Mohon maaf, kakaknya yang ini bisa tunggu di luar dulu? Yang bisa di dalam hanya wali." Dokter itu memberi pengertian.

Aysha mengangguk, mengajak Jojo untuk menunggu di luar. Tidak baik juga untuk Jojo berada di ruang IGD, terlebih memang IGD sedang penuh dengan pasien yang masuk.

Matanya mengelip pada Muh, 'gue di depan ya.' Si laki-laki balas mengangguk.

"Mas-nya keluarga ananda Rian?" Dokter bertanya pada Muh setelah merapal nama Rian yang tercetak di gelang yang melingkar pada pergelangannya. 

Muh mengangguk tanpa ragu, "Saya kakaknya dok, anggap saja saya yang jadi wali Rian."

"Baik." Dokter itu mengangguk kembali. Muh kini dapat melihat dengan jelas kondisi Rian—setelah huru-hara dengan satpol PP yang cukup mengubah fokusnya.

Kondisi Rian tidak sadarkan diri, terbaring lemah di bangsal IGD. Rian sudah mendapat prosedur pertolongan pertama, kepala sudah dibalut perban dengan darah yang merembes keluar, pada lengan kirinya sudah terbungkus stockinette­—perban tipis elastis yang dihubungkan dengan tali yang mengingat lehernya—guna menopang lengannya agar tidak banyak bergerak.

KANTAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang