(49). Privilege

502 48 18
                                    

Yang bener dong..! Buku novel ditumpuk sama buku novel juga, jangan dicampur sama buku pelajaran."

"Iya-iya..! Ini salah karena gak kebaca, lagian kan ada kamu."

"Ih, mentang-mentang ada gue, jadi ngelunjak."

"Nih, Ay liat deh judulnya, 'Sunset bersama rosie' ntar kalo aku yang bikin novel judulnya, 'Senja untuk Riviera."

"Hmm.. kalo gue yang bikin novel judulnya, 'Malam penuh bintang bersama Einstein."

"Kok Einstein?"

"Ya karena pasti kalo ngobrol sama lo dikit-dikit ngobrolin teori saintis."

"Asal sama kamu, ngomongin apa aja, aku mau."

Suara geplakan disusul ringisan terdengar dari rak sebelah yang tampaknya masih hobi sekali berdebat. "BUCINN TEROSS...!!" Ali menyindir dari rak sebelah.

"Dunia milik berdua yang laen ngontrak. Lama-lama gue gulung juga nih bumi."

Aysha, Muh, Marwa, Ali, Umar, Husein dan Salman, tujuh orang yang menjadi pelopor kericuhan di upacara tadi pagi berakhir tragis di depan tumpukan buku-buku perpustakaan yang tak pernah habis berantakan.

Lagi dan lagi, hukuman membersihkan perpustakaan sebagai pengganti dari kericuhan yang sudah mereka dengungkan.

Aysha bangkit berdiri berkacak pinggang di depan rak sebelahnya yang menampilkan Marwa, Ali dan Umar yang bergantian memilah-milah buku. "Lo semua lagian ngapain sih ngikutin gue?"

Muh yang mengekor di belakang Aysha tercenung.

"Gue tuh lagi protes soal hal-hal kecurangan yang bisa jadi dilakuin sama ayah-ayah kalian! Terus kalian ngapain ikut-ikutan?!"

Husein dan Salman yang ada rak sebelahnya lagi ikut menyembul, nimbrung.

"Ya, kenapa?" Marwa menantang. "Gue juga mau menyuarakan pendapat gue."

Umar ikut mengangguk. "Biarin kesalahan orang tua kita jadi kesalahan mereka. Gak perlu kita cover."

Gak masuk akal.

Normalnya, sebagai anak, harusnya mereka tidak ingin apapun keburukan tentang orang tua yang notabene-nya keluarga mereka terbongkar. Apa untungnya untuk mereka? Yang ada rugi karena nama mereka yang akan tercemar.

Aysha gak habis pikir tentang jalan pikir teman-temannya.

Teman-temannya?

"Kita kan sama-sama udah merasakan sendiri, Aysha." Kini Ali yang bersuara.

"Ketimpangan sosial dan pendidikan dari adik-adik jalanan, dan gelapnya sistem di APRI. Jomplang bedanya. Dari ketimpangan itu, kita bergerak bareng-bareng buat wujudin 'sekolah anak langit'. Masa untuk membongkar buruknya sistem di APRI kita gak sama-sama?"

Aysha ingin tertawa dalam hati. Melihat Ali yang hobi becanda kini terlihat serius mengemukakan pendapatnya.

Atau mungkin, memang itu jalan pikir dari teman-teman seperjuangannya di perpustakaan ini?

'Sekolah Anak Langit' sedikit banyak membuat perubahan, kemantapan hati, kelogisan berpikir untuk memperjuang keadilan dari variabel kecil di depan mata.

Husein dan Salman yang hanya menyembulkan kepalanya ikut mengangguk-ngangguk setuju.

"Lagian emang kita di sini karena ngebelain lo? Dih ge-er," celetuk Umar.

"Iya," bantah Muh. "Gue belain cewek gue."

"Iya kecuali lo," sambat Umar malas. Tangannya terulur membenarnya kacamatanya di pangkal hidung.

KANTAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang