(40). Rahasia Jalang Kecil

437 54 41
                                    

⚠️Warning⚠️

Bab ini berisi adegan 17+ dan triger, seperti: mental health issue, self harm, violence, suicide, child abuse, bullying, and harsh word.

Hati-hati dalam membaca dan tolong ambil baik-baiknya aja, buang yang buruk-buruknya.

5000+ kata
so, siapkan tempat dan posisi yang nyaman

Enjoy reading!

*

"Gak bakal ada cowok yang mau nerima tubuh kotor lo."

*

Salman masih harus menjalani perawatan intensif setidaknya selama dua hari ke depan, Salman harus tetap memakai perban elastis di area tulang rusuknya dan rutin mengompress luka-luka lebamnya.

Sedangkan Shafiyah sudah diizinkan untuk pulang. Dengan catatan harus rutin meminum obat yang telah diberikan. Meski begitu, Shafiyah tetap bertahan di ruang rawat inap milik Salman. Memilih untuk menjaga anak semata wayangnya hingga pulih. 

Keadaan ibu-anak itu kini jauh membaik. Mereka terlihat lebih dekat dibanding sebelumnya. Meskipun memang mereka membutuhkan waktu untuk menerima keadaan masing-masing dan saling memaafkan.

Salman tidak berniat untuk menindaklanjuti penindasan Husein ke meja hijau. Pemuda coklat itu jelas memiliki pintu maaf yang luas meskipun Husein belum mengucapkan kata maaf.

Namun bagi Muh, itu berbeda.

"Pukul gue aja, Sein!"

Teriakan dari suara barinton itu menggelegar, memecah kesiur angin yang menghempas kasar helai-helai rambut.

Muh sudah mengempas kasar kerah baju Husein ketika kakinya menyentuh alas rooftop. Pemuda itu sejak pagi-pagi sudah menggeret Husein dari kelas menuju atap sekolah. Membuat para siwa penasaran dengan apa yang ingin dilakukan.

"Jangan pernah lo jadiin orang lain di luar keluarga kita untuk jadi pelampiasan lo!"

Muh menatap nyalang Husein. Urat di sekitar lehernya tampak tegang.

"Gak semua orang bisa ngertiin lo, semenyedihkan apapun hidup lo, gak semua orang harus ngertiin lo!"

Husein tertawa getir mendengar cibiran Muh. Pemuda itu melepas dasinya yang sudah longgar akibat cengraman Muh tadi. "Terus lo pikir lo ngertiin gue?"

Muh menggeleng. "Lo yang gak pernah mau dingertiin orang, Sein. Seberapapun keras orang-orang berusaha ngertiin lo."

"Lo yang ninggalin gue duluan Muh!"

"Terus lo mah nyalahin siapa? Nyalahin semesta? Nyalahin Amr yang naik jadi Gubernur? Nyalahin takdir yang udah bikin Marwa sakit?! Nyalahin yangkung yang lebih milih gue? Atau Nyalahin takdir yang udah bikin ibu lo sakit?"

Husen menggeleng keras sebagai jawaban. Mata legamnya tanpa permisi menusuk tatapan nyalang Muh. Balas mencabik lewat tatapan tajam.

"Lo pikir Salman mau punya ibu kayak gitu?! Lo pikir Salman pernah minta sama semesta untuk dapet takdir semenyedihkan itu?!" Muh kembali berceracau.

Husein membuang mukanya asal. Menatap gemuruh awan yang mendung, seakan menandakan bahwa Jakarta akan diguyur hujan sebentar lagi.

"... Jangan ngerasa paling menderita sampe lo nutup hati untuk penderitaan orang lain!"

Husein mulai jengah, berdecak sebal. "Adik lo tuh siapa?! Gue atau Salman?"

"Bukan masalah siapa adek gue. Tapi masalah siapa yang salah." Mata nyalang itu tidak berniat untuk melunak sama sekali.

KANTAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang