(9). Politik, bisnis, sains?

1.4K 165 32
                                    

Gadis kecil itu meringkuk di pojok ruangan. Menatap nanar ke arah jendela. Sinar hangat matahari dapat menembus masuk ke ruangan itu, namun entah mengapa rasanya tetap saja dingin terus menusuk jiwa raganya.

Bahkan hangatnya sinar matahari yang menerpa wajahnya tak mampu menghangatkan hatinya yang sudah terlanjur berkabut.

Dingin dan mati.

Bagai sebuah rumah yang telah lama ditinggalkan pemiliknya.

Rasanya sudah ribuan malam ia lewatkan di ruangan mengerikan ini. Ruangan petak berukuran 3 x 3 m2. Dinding dan lantainya putih, namun selalu terkesan gelap dengan pencahayaan yang remang. Satu pintu di pojok ruangan yang selalu terkunci, dan satu jendela yang tingginya tiga lengan orang dewasa di atas kepalanya.

Setiap malam tangan-tangan besar itu selalu menyentuhnya. Terkadang sendiri, namun tak jarang mereka datang beramai-ramai. Tanpa ragu menyakitinya.

Gadis itu tak mengerti. Orang-orang dewasa itu selalu menyebut kata 'bercinta' namun yang mereka lakukan justru melukainya. Bukankah cinta itu memiliki makna yang indah?

Ia pikir seseorang bahkan rela melakukan apapun demi orang ia cintai bahagia. Lalu apa yang mereka lakukan?

Takut.

Gadis itu takut. Dimana ayah?

"Ayah... kapan Ayah jemput El? El gak suka di sini... Mereka jahat Ayah..."

Matanya terus menatap pintu ruangan, harap-harap cemas menanti kehadadiran sang Ayah. Seseorang yang ia percaya akan menjadi pahlawannya yang akan menyelamatkannya.

"Ayah pasti datang, kan? Cepatlah datang..."

*

Bab 9

Politik, bisnis, sains?

*

*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*

"Marwa lolos seleksi olimpiade biologi, loh, Pah, Mah." Seorang gadis dengan rambut indah berponi tampak membuka obrolan di tengah meja makan milik keluarga beranggotakan empat kepala.

Tangan jenjangnya yang masih memiliki bekas infus bergerak menyuapkan satu sendok makanan ke bibir merah mudanya.

"Najis, cari perhatian terus."

Sorot mata tajam keluar dari sudut mata milik seorang laki-laki yang memiliki wajah yang identik dengan sang gadis. Tampak jengah dengan situasi yang tercipta di meja tersebut.

Seulas senyum merekah dari sosok wanita berusia 40 tahun yang masih tampak awet muda dengan segala perawatannya itu. "Hebat anak mama. Cantik, pintar, berbakat. Apa sih yang kurang dari kamu?"

KANTAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang