(3). Sketsa

1.5K 212 146
                                    

"Seharusnya kamu saja yang mati kemarin!"

Prang!!

Botol yang baru-baru ini gadis kecil itu ketahui sebagai botol miras itu mendarat di lantai yang ia pijak, serpihan pecahan itu sedikit banyak menggores kaki mungil gadis itu.

"Apa yang bisa kamu lakukan?! Dasar anak gak berguna!" Tangan itu kembali menarik rambut gadis kecil tanpa ampun.

"Argh.. sa-sakit, Ayah.." ringis gadis kecil ketika rambutnya ditarik dengan kencang, tak berapa lama kepalanya dilemparkan ke arah dinding di belakangnya.

Bruk!

Gadis kecil itu terkulai lemas di lantai dingin rumahnya.

Sakit.

Kepalanya sakit. Kakinya perih. Bahkan luka memar di badannya kemarin belum sembuh. Tapi, seberapa keraspun gadis itu menangis, laki-laki dewasa di hadapannya tak akan berhenti menyiksanya.

Kecuali, gadis itu mati.

*

Bab 3

Sketsa

*

PLAK!


"Bisa gak sih jaga adik kamu yang bener?!" Suara teriakan dari balik tembok itu sedikit mengejutkan Aysha. Gadis itu menjengit sebentar kemudian merapatkan dirinya di dinding.

Bersembunyi.

Baru saja gadis itu keluar dari ruang kerja bu Fitri. Tadi setelah ia keluar dari ruang olimp, dirinya dipanggil ke ruang kerja bu Fitri—guru bahasa indonesia di APRI.

Kebetulan sekali ruang kerja para guru berada satu gedung dengan ruang eskul, mungkin agar para guru bisa mengawasi kegiatan eskul di APRI.

Baru beberapa langkah Aysha berjalan, Ia malah mendengar suara gaduh tak jauh dari ruang teater. Masalahnya, koridor di depan ruang teater adalah satu-satunya jalan untuk ke lobi utama —jalan pulangnya. Jadi, mau tidak mau ia harus melewati ruang teater itu.

"Kamu ngapain aja di sekolah?! Udah papa bilang kamu harus selalu menjaga adik kamu!" Suara teriakan yang sama menguar di balik tembok. Aysha mengintip. Melihat seorang laki-laki berjas yang membelakanginya.

Oh sungguh, Aysha tak pernah berniat untuk menguping, Tapi tidak mungkinkan dirinya muncul di tengah perseteruan itu?

PLAK!

Tamparan kedua yang melayang dari sosok laki-laki berjas itu.

Ah, Sayang sekali Aysha tidak bisa melihat wajahnya. Pria berjas itu masih membelakanginya.

Kepalanya melonggok, melihat sosok remaja yang menjadi sasaran tamparan sang pria berjas. Demi apapun, rasanya Aysha hampir berteriak sekarang.

Matanya membulat sempurna melihat sosok laki-laki dengan rambut acak-acakan dan pipi yang memerah serta sudut bibirnya sedikit robek dan mengeluarkan darah.

Meskipun separuh wajahnya tertutup oleh poninya yang turun, Aysha bisa melihat dengan jelas siapa laki-laki itu. Laki-laki yang disegani oleh seluruh siswa APRI.

Laki-laki itu... Muh Alfarez.

Kali ini benar-benar Muh Alfarez. Pria yang sama dengan yang Aysha lihat di koridor kemarin.

KANTAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang