(22). Anak Jalanan

707 76 9
                                    

Aysha mengeratkan cengkramannya di jaket denim milik Muh. Tangan yang tadinya mencengkram pundak Muh itu sudah berpindah melingkar di sisi pinggang Muh.

Bagaimana tidak? Laki-laki itu membawa motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Refleks saja tangannya mencengkram kuat pinggang laki-laki itu.

Belum lagi melihat situasi jalanan yang masih lembab akibat hujan yang turun beberapa menit lalu. Tentu saja jalan yang mereka tapaki sangat licin, kemungkinan yang sangat besar untuk mereka jat—

Ciiitt... jedarr..!

Belum selesai Aysha merapal firasatnya dalam hati, rupanya Tuhan berbaik hati mengabulkan prasangkanya. Kejadiannya terlalu cepat, Aysha tidak begitu bisa mengingatnya.

Singkatnya, kakak kelas sinting itu tiba-tiba saja menginjak pedal rem ketika motornya sedang melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Membuat gadis itu refleks memajukan badannya ke depan, dan tanpa aba-aba motor hitam besarnya itu oleng dan jatuh seketika.

Aysha terguling beberapa kali di aspal lembab sebelum akhirnya tergeletak tak jauh dari trotoar.

"Sinting!" sungut Aysha seraya berusaha bangkit terduduk. Rasanya setiap tulang dan sendi di tubuhnya bisa lepas kapan saja.

Baru saja Aysha ingin melanjutkan umpatannya ketika matanya menangkap seorang kakek tua yang terjatuh tak jauh dari motor besar Muh. Sontak saja mulutnya kembali ia tutup.

Kakek tua itu tampak syok dengan tangan gemetar yang terulur mengambil dagangannya yang berserakan—jika Aysha tidak salah lihat, dari bentuknya seperti ubi.

Muh yang baru saja berusaha bangkit berdiri, tergopoh-gopoh menghampiri sang kakek. "Hampura, Abah... Saya ente sengaja.." Tangan Muh terulur membantu mengambil dagangan ubi sang kakek yang berceceran dari keranjangnya.

Si Sinting itu baru saja hampir menabrak seorang kakek berusia sekitar 70-an tahun akibat mengendarai motor yang ugal-ugalan.

Tanpa pikir panjang Aysha ikut berdiri dan memungut beberapa ubi yang berceceran di aspal. Menelan kembali semua umpatan yang hendak ia berikan pada kakak kelas gilanya itu.

"Sekali lagi, Hampura nyak Abah... Saya nte sengaja. Abah nte na-naon? Aya nu luka heunte'?" Muh tampak menelisik tubuh sang kakek seraya menepuk pelan beberapa debu yang menempel di baju sang kakek.

Perlakuan halus pada sang kakek ditambah logat sunda halus yang kental keluar di bibir Muh cukup membuat Aysha tertegun.

Tak bisa dibayangkan seorang siswa dengan julukan The King yang terbiasa berbicara dengan nada tinggi itu tiba-tiba merendahkan nada suaranya. Bahkan bahu yang senantiasa tegap itu seketika membungkuk untuk menyejajarkan tinggi sang kakek.

"Nte na-naon, a'. Abah gapapa." si kakek tersenyum manis dengan mata yang sedikit menyipit. "Hati-hati atuh a' lain kali. Itu Maneh jidatnya meni' luka." si kakek menunjuk pelipis Muh yang mengeluarkan darah.

"Eh, Iye' neng geulis aya luka heunte?" si kakek mengalihkan pandangnya ke Aysha. Gadis itu menggeleng cepat, merasa tubuhnya baik-baik saja.

Berbeda dengan Muh yang terjatuh cukup kuat dan membentur trotoar, Aysha hanya terguling beberapa kali dan tidak ada luka serius.

"Itu lutut lo luka."

Yah, setidaknya sebelum Muh menyadari cairan merah kental yang menetes dari lututnya.

Aysha tersenyum canggung pada sang kakek. "Gapapa, kek. Aysha bawa obat merah, kok."

"Oh, nyak diobatin atuh, a', neng"

"Muhun, bah." Muh ikut tersenyum, matanya melirik ke arah keranjang dagangan sang kakek yang berisi ubi yang tadi terjatuh. Ubi itu masih tiga perempat memenuhi keranjang. "Punten, bah. Eta teh, ubi tos asak?"

KANTAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang